Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Menteri Pertanian Sudaryono menanggapi kenaikan harga Minyakita yang diklaim karena melonjaknya harga bahan baku yakni minyak sawit mentah (CPO) di pasar global.
Sudaryoni menegaskan tingginya harga CPO seharusnya tidak lantas membuat harga Minyakita dijual diatas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan Rp 15.700 per liter. Pasalnya dia meyakini, produsen tidak merugi jika menjual sesuai HET.
"Dengan harga CPO (naik) pun perusahaan tidak jual rugi, dia enggak rugi, cuma memang tidak untuk sebanyak kalau dia ekspor," kata Sudaryono dijumpai di Gedung Parlemen, Selasa (11/3).
Baca Juga: Kemendag Sebut Perusahaan Nakal yang Sunat Takaran Minyakita Sudah Disegel
Sudaryono menjelaskan HET Minyak Goreng pemerintah ini sudah disesuaikan beberapa kali dengan mempertimbangkan harga bahan baku yang ada.
Sudaryono memahami kenaikan harga CPO ini membuat minat produsen untuk ekspor semakin tinggi. Namun, dia juga mengingatkan ada kewajiban dalam negeri (DMO) yang memang harus dipenuhi oleh produsen.
Kebijakan DMO ini dilakukan agar pasokan minyak goreng dalam negeri termasuk Minyakita tetap tercukupi.
"Kita produsen sawit terbesar di dunia lo, masa minyak goreng langka di negara kita, itu kan paradoks banget," ujarnya.
Sebelumnya, pengamat Pertanian dan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori merespon temuan perusahaan Minyakita yang diduga melakukan pelanggaran dengan tidak sesuai takaran dan HET (Harga Eceran Tertiggi).
Baca Juga: Kasus Volume Minyakita Disunat, Politisi PDIP: Rakyat Dibohongi Lagi dan Lagi
Khudori menduga hal ini terjadi karena biaya pokok produksi sudah jauh melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah yakni Rp 15.700 per liter.
Khudori menjelaskan harga bahan baku minyak goreng yakni crude palm oil (CPO) dalam negeri selama 6 bulan terakhir sekitar Rp 15.000-16.000 per kg. Harga bahan baku ini jauh lebih tinggi dari hitungan harga CPO yang ditetapkan pemerintah untuk bahan baku MinyaKita yakni Rp 13.400 per kg.
"Ini baru menghitung bahan baku CPO, belum memperhitungkan biaya mengolah, biaya distribusi, dan margin keuntungan usaha," kata Khudori dalam keterangan resminya, Minggu (9/3).
Jika ketiga komponen itu diperhitungkan, dapat dipastikan produsen akan mengalami kerugian mengingat produsen MinyaKita diharuskan menjual produk ke Distributor 1 (D1) maksimal sebesar Rp 13.500 per liter.
"Pengusaha mana yang kuat jika terus merugi? Usaha mana yang sustain bila harus jual di bawah harga produksi," pungkas Khudori.
Selanjutnya: Begini Ragam Respons Emiten BUMN Karya soal Rencana Peleburan Menjadi Satu Holding
Menarik Dibaca: Resep Kulit Ayam Crispy Saus Mentega, Ini Rahasianya Biar Renyah Tahan Lama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News