kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Harga Minyak Dunia Merosot, Harga BBM Subsidi Harus Diturunkan?


Kamis, 29 September 2022 / 06:50 WIB
Harga Minyak Dunia Merosot, Harga BBM Subsidi Harus Diturunkan?
ILUSTRASI. Pengendara motor mengantri untuk mengisi bahan bakar minyak di SPBU HR. Rasuna Said, Jakarta, Rabu (31/8/2022). Penurunan harga minyak mentah mestinya membuka peluang penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi.


Reporter: Bidara Pink, Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak dunia merosot belakangan ini, dari US$ 120 per barel kini ke level US$ 80 per barel. Penurunan harga minyak mentah membuka celah penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, tren penurunan harga minyak mentah yang terjadi saat ini menjadi sinyal positif bagi beban subsidi energi yang juga akan ikut turun.

Oleh karena itu, pemerintah masih mempunyai peluang menurunkan kembali harga BBM subsidi kembali ke harga yang sama sebelum terjadinya kenaikan.

Bhima mengatakan, langkah tersebut harus dilakukan pemerintah, setidaknya mengembalikan harga BBM jenis pertalite ke level Rp 7.650 per liter dan untuk solar ke level Rp 5.150 per liter.

"Langkah ini harus dilakukan karena tidak fair, tidak adil apabila harga minyak mentah turun maka beban subsidinya juga menurun. Pemerintah masih menahan harga BBM yang mahal. Jadi ada kemungkinan Pertalite diturunkan lagi setidaknya di bawah Rp 7.650, atau kembali ke level Rp 7.650 per liter, dan solar sekitar Rp 5.000 per liter untuk jenis subsidi," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Rabu (28/9).

Baca Juga: Berpotensi Habis Oktober, Kuota BBM Subsidi Belum Ditambah

Namun di sisi lain, Bhima bilang, dengan adanya penurunan harga minyak mentah maka Indonesia sebagai penghasil komoditas yang paling besar seperti minyak sawit dan batubara juga harus bersiap diri menghadapi adanya tren penurunan harga komoditas.

"Artinya sektor-sektor yang menjadi primadona akan berubah menjadi sektor yang mengalami kontraksi paling tajam. Ini lah yang disebut roller coaster dari komoditas, karena hanya dalam waktu singkat harga komoditas naik turun sehingga sulit diperkirakan," tambahnya.

Ia menyarankan pemerintah untuk mempersiapkan sebuah skenario apabila sektor berbasis komoditas turun maka pemerintah harus mendorong sektor yang lain. Misalnya saja sektor berbasis industi pengolahan atau pun sektor ekonomi digital sehingga penurunan harga komoditas tidak langsung membuat perekenomian Indoensia mengalami konstraksi yang cukup dalam.

Baca Juga: Rupiah dan Harga Minyak Dunia Anjlok, Apakah Harga BBM Bisa Turun? Ini Kata Menkeu

Sementara, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menilai, pemerintah tidak perlu menurunkan harga BBM. Menurutnya, penurunan harga BBM bukan langkah tepat, di tengah upaya pemerintah melakukan reformasi subsidi.

"Tidak perlu menurunkan harga BBM, karena skema reformasi subsidi ini sudah baik. Kalau memang harga minyak turun dan memberikan ruang bagi APBN, baiknya dana tersebut digunakan untuk pembangunan, tambahan jaring pengaman sosial, dan belanja berkualitas lain daripada dialokasikan pada subsidi," kata Riefky kepada Kontan.co.id, Rabu (28/9).

Baca Juga: Harga Minyak Dunia Turun, Harga BBM Subsidi Mestinya Diturunkan

Terlebih, pemerintah juga mengaku sendiri bahwa subsidi energi yang diberikan tidak tepat sasaran dan bahkan menjadi beban APBN. Terlebih, penggunaan bahan bakar minyak juga sebenarnya tidak ramah lingkungan mengingat pemerintah tengah menggalakkan transisi ekonomi hijau.

Walaupun harga BBM tidak turun, pemerintah masih bisa melakukan langkah lainnya untuk mengendalikan inflasi yang juga dipicu oleh ketidakpastian global.

Pemerintah perlu memperhatikan risiko imported inflation, yang salah satunya disebabkan oleh pelemahan nilai tukar rupiah. Dengan demikian, rupiah perlu dijaga mengingat sebagian besar impor yang dilakukan oleh Indonesia adalah impor bahan baku dan barang modal yang merupakan kepentingan produksi.

"Menjaga nilai tukar rupiah ini merupakan instrumen yang tepat untuk menejkan laju inflasi. Karena risiko terbesar inflasi adalah imported inflation," terang Riefky.

Dari sisi permintaan, Riefky mengapresiasi langkah yang telah dilakukan Bank Indonesia (BI) untuk ahead the curve, yaitu dengan menaikkan suku bunga acuan dengan total 75 basis poin (bps) dalam dua bulan terakhir. Peningkatan suku bunga ini dianggap mampu meredam inflasi dari sisi permintaan dan bermuara pada terjaganya inflasi umum.

Riefky pun memperkirakan, inflasi pada tahun 2022 memang mungkin berada di level 6% hingga 7%, atau atas target BI yang sebesar 4%. Namun, tingkat inflasi umum akan mereda pada tahun 2023 seiring dengan berbagai jamu yang telah dilakukan pemerintah dan BI, yaitu di kisaran 4%.

Baca Juga: Harga Minyak Global Anjlok, Apakah Harga BBM Bisa Turun?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×