Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai bahwa skema tarif pajak di Indonesia sudah mencerminkan asas keadilan. Namun, persoalannya selama ini adalah pada kemampuan pemerintah menghimpun pajak, terutama pada kelompok terkaya.
“Masalahnya lebih pada kemampuan menghimpun, bukan pada tarifnya. Tarif sudah menggambarkan progresivitas,” katanya di Gedung Ditjen Pajak Pusat, Jumat (11/8).
Untuk PPh individu sendiri, Indonesia punya empat layer tarif. Bagi yang memiliki penghasilan hingga Rp 50 juta per tahun adalah 5%. Sementara yang berpenghasilan di atas Rp 50 juta, tetapi di bawah Rp 250 juta, tarifnya 15%.
Namanya progresif, maka tarifnya terus membesar. Bagi yang berpenghasilan di atas Rp 250 juta, tetapi di bawah Rp 500 juta, tarifnya adalah 25%. Sementara tarif penghasilan di atas Rp 500 juta adalah 30%.
Namun demikian, adanya empat layer tersebut dinilai tidak cukup progresif jika ingin mencapai level keadilan maksimum. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan, layer yang hanya empat dan bracket yang sempit jelas tidak mendorong pemerataan karena tarif tertinggi justru sudah dikenakan pada lapis penghasilan yang melebihi Rp 500 juta.
“Apalagi banyaknya passive income yang telah dipotong PPh Final dengan tarif rendah, meski sebagian terlalu tinggi. Deposito misalnya, atas bunganya dikenai tarif final tunggal 20%, tak membedakan nilai simpanan. Termasuk saham, tabungan, dan lainnya,” ujarnya.
Menurut Yustinus, oleh karena itu sah-sah saja apabila modus orang kaya adalah hindari PPh pribadi dan menggeser ke Witholding Tax karena lebih rendah tarifnya. Hal ini berarti mereka memanfaatkan loopholes dan melakukan tax planning. "Ya, sah-sah saja, tapi pemerintah harus mengantisipasi. Tidak boleh netral," tegasnya.
Yustinus melanjutkan, banyak kelompok menengah yang level penghasilan di atas Rp 500 juta. Misalnya para manager perusahaan besar yang dengan gaji Rp 50-60 juta sudah dikenai 30%.
"Bagaimana mau merata? Jadi kemampuan konsumsi rumah tangga juga rendah karena sudah diambil negara, dengan risiko redistribusi belum bagus," ujarnya.
Dengan demikian, ia menilai bahwa kebijakan dan administrasi pajak belum optimal dalam mengurangi ketimpangan pendapatan. Sebaliknya, skema yang ada justru ikut berperan dalam memperlebar ketimpangan.
Oleh karena itu, Yustinus mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan pajak yang lebih progresif agar memproteksi kelas menengah.
"Jadi cara menurunkan tarif tidak harus dengan turun di top rate, tapi perluas bracket. Bikin lebih progresif, sehingga memproteksi kelas menengah. Yang kelompok atas bayar lebih besar, menengah berkurang tapi agregat bisa naik karena tax base menjadi lebih lebar," jelasnya.
Di negara lain, layer dari kebijakan pajaknya lebih banyak. Misalnya Amerika Serikat (AS) yang memiliki tujuh layer, dengan pembedaan join reporting dan separate untuk marital. Adapun di Inggris dan Singapura. "Inggris tarifnya kompleks, dan allowance juga kompleks. Singapore malah jauh lebih banyak layer,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News