kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Hampir tiga tahun, BCSA dengan Australia belum ada yang memanfaatkan


Kamis, 09 Agustus 2018 / 19:22 WIB
Hampir tiga tahun, BCSA dengan Australia belum ada yang memanfaatkan
ILUSTRASI. Logo Bank Indonesia (BI)


Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski telah memiliki garis pertahanan kedua (second line of defense), Bank Indonesia (BI) juga memanfaatkan kerjasama swap arrangement khusus untuk fasilitas perdagangan dengan Australia.

Kamis (9/8), BI mengumumkan kesepakatan dengan Reserve Bank of Australia (RBA) untuk memperpanjang kerjasama Bilateral Local Currency Swap Arrangement (BCSA) antara kedua bank sentral. Sebab kerjasama ini akan berakhir di Desember 2018 nanti.

Sebagaimana perjanjian sebelumnya, perjanjian kerjasama BCSA yang berlaku efektif selama tiga tahun ke depan. Kerjasama ini memungkinkan swap mata uang lokal antara kedua bank sentral senilai A$10 miliar atau Rp 100 triliun, untuk fasilitas perdagangan kedua negara.

"Ini sebuah fasilitas yang diberikan bank sentral untuk perdagangan. Misalnya, ada perdagangan Indonesia dan Australia, tidak perlu menggunakan dollar AS, bisa gunakan local currency-nya," kata Direktur Departemen Internasional BI Erwin Haryono, Kamis (9/8).

Selama ini, sebagian besar transaksi valas di perbankan Indonesia mencapai 86,5%. Untuk perdagangan ekspor, penggunaan dollar AS mencapai 95% dan impor 76%. Sehingga, setiap kali ada gejolak, akan mempengaruhi permintaan dollar AS. Pada akhirnya, hal tersebut mempengaruhi pergerakan mata uang Negeri Paman Sam.

Sayangnya, meski kerjasama dengan RBA telah dilakukan sejak 2015 lalu, hingga kini fasilitas tersebut belum dimanfaatkan sama sekali dalam perdagangan antar kedua negara. Walaupun, Australia menempati urutan ke-11 sebagai negara tujuan ekspor Indonesia, urutan kedelapan sebagai negara yang paling banyak impor ke Indonesia, dan urutan kesembilan negara asing yang dengan investasi terbesar ke Indonesia.

Erwin mengaku, salah satu penyebabnya adalah kurangnya sosialisasi. "Ini yang mungkin salah satu kelemahan kami untuk menyosialisasikan ini. Pada saat terjadi tekanan yang luar biasa, ini saat-saat di mana orang yang mau menggunakan windows kami, bisa masuk ke kami," tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×