Reporter: Fahriyadi | Editor: Fahriyadi .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penasihat Hukum Eks Direktur Utama PT Jasamarga Jalan Layang Cikampek (JJC) Djoko Dwijono menyayangkan putusan Majelis Hakim terhadap kliennya dalam perkara kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated alias Tol MBZ. Majelis Hakim dinilai telah mengabaikan fakta persidangan sehingga membuat Djoko Dwijono menjadi korban dalam kasus ini.
Sekedar informasi, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang diketuai Fahzal Hendri menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara kepada eks Dirut JJC Djoko Dwijono dalam sidang putusan, Selasa (30/7).
"Majelis Hakim telah mengabaikan fakta persidangan dan pembelaan baik dari penasihat hukum maupun dari terdakwa," ujar Wardhani Dyah Gayatri, anggota Tim Penasihat Hukum Djoko Dwijono usai persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (30/7).
Dalam pembacaan putusan, Hakim Ketua Fahzal Hendri mengatakan Djoko terbukti menyalahgunakan wewenang dengan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana yang didakwakan penuntut umum dalam dakwaan subsider.
Majelis Hakim menilai, Djoko terbukti melanggar Pasal 3 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke- 1 KUH Pidana. Karena itu, Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 3 tahun dan denda Rp 250 juta.
Supriyadi Adi, Anggota Tim Penasihat Hukum Djoko Dwijono, mengatakan, dari fakta hasil persidangan, Djoko tidak terbukti melakukan persekongkolan atau secara bersama-sama memuluskan jalan kemenangan KSO Waskita Acset dalam proyek pembangunan jalan Tol MBZ. Djoko juga baru menjabat sebagai Dirut JJC setelah proses pelelangan proyek berjalan sehingga semestinya tidak ada tindak pidana korupsi di dalamnya.
"Klien kami tidak terbukti bersalah melakukan korupsi jika mengacu pasal 18 UU Tipikor," kata Supriyadi.
Berdasarkan fakta persidangan, Djoko Dwijono tidak terbukti melakukan persekongkolan dengan Yudhi Mahyudin untuk meloloskan dan memenangkan KSO Waskita Acset dalam lelang jasa konstruksi pembangunan Tol MBZ meski tidak memenuhi syarat evaluasi administrasi maupun evaluasi teknis.
Berdasarkan fakta persidangan, Djoko hanya memberikan arahan kepada Yudhi bahwa KSO Waskita Acset memperoleh right to match (RTM), yakni hak untuk menyamakan penawaran dengan penawar terbaik, yang pada saat lelang tidak digunakan lantaran harga penawaran KSO Waskita Acset paling rendah. Pemberian RTM tersebut juga sudah sesuai aturan dan sudah diinformasikan dalam lelang konstruksi.
Djoko juga tidak terbukti melakukan persekongkolan dengan Yudhi Mahyudin, Tony Budianto Sihite, Sofiah Balas, serta Dono Parwoto untuk mengubah spesifikasi khusus yang tidak sesuai dengan basic design dan menurunkan volume serta mutu steel box girder sehingga mengakibatkan jalan Tol MBZ tidak memenuhi syarat keamanan dan kenyamanan untuk dilalui kendaraan golongan III, IV, dan V.
Berdasarkan fakta persidangan, pembangunan Tol MBZ menggunakan metode pekerjaan design and build sehingga dapat dilakukan pengembangan spesifikasi dari yang telah ditentukan pada basic design. Terkait perubahan steel box girder berbentuk V Shape menjadi U Shape, hal itu dilakukan sebelum PT JJC didirikan dan Djoko belum menjabat sebagai direktur utama. Selain itu, perincian steel box girder pada basic design hanya bersifat perkiraan awal.
"Hakim tidak memahami konsep design and build. Jika paham, maka perubahan tinggi girder dan perubahan volume beton merupakan hal yang diperbolehkan karena yang mengikat adalah kriteria desain," imbuh Wardhani.
Selain tidak terbukti melakukan persekongkolan, dalam fakta persidangan justru terungkap bahwa Djoko telah memperhatikan prinsip kehati-hatian sebagai usaha dalam melaksanakan good corporate governance. Ini dibuktikan dengan keberhasilan Djoko menolak klaim KSO Waskita Acset atas penambahan pekerjaan senilai Rp 1,4 triliun karena perjanjian pembangunan Tol MBZ menggunakan metode pembayaran lumpsum.
“Klaim itu tidak disetujui oleh PT JJC karena tidak dijumpai adanya instruksi dari pemilik proyek (PT JJC) atau persetujuan proposal oleh PT JJC terkait klaim pekerjaan tersebut,” ungkap Sugiharto yang menjabat sebagai Vice President Infrastruktur II PT Waskita Karya Periode Maret 2019 sampai dengan Maret 2021 dan Vice President Infrastruktur II PT Waskita Karya Periode Maret 2021 sampai dengan 17 Desember 2021, pada sidang pertengahan Mei lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News