Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Merebaknya virus corona di Indonesia pada Maret 2020 lalu, sempat membuat nilai tukar rupiah melemah sampai hampir menyentuh Rp 17.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan, saat itu bahkan investor asing juga berbondong-bondong menjual surat berharga negara (SBN) ingin menukar ke dolar, sehingga membuat kurs pada waktu itu sudah di awang-awang.
Baca Juga: BI siap gelontorkan likuiditas untuk ungkit pertumbuhan ekonomi
"Dari semula di kisaran Rp 14.000 mulai meningkat perlahan sampai hampir menembus Rp 17.000. Pada saat yang sama, investor asing kemudian melepas SBN-nya hampir sekitar Rp 160 triliun-Rp 170 triliun. Nah, ini kan pelemahan rupiah karena ada kepanikan global," ujar Perry dalam agenda rapat virtual dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (6/5).
Namun, saat ini rupiah di pasar spot telah menguat dan berada di level Rp 15.080 per dolar AS. Angka ini stagnan apabila dibandingkan dengan sehari sebelumnya yang juga ada di level Rp 15.080 per dolar AS.
Menurut Perry, upaya BI dalam menstabilkan nilai tukar rupiah ini dilakukan secara mati-matian dengan menggunakan seluruh sumber daya yang dimiliki BI. Saat itu, BI juga menjaga agar yield SBN dengan tenor 10 tahun tidak melambung sampai 9%.
"Tugas kami dalam menstabilkan kurs itu, supaya beban Covid-19 kemudian tidak menimbulkan suatu tekanan kepada krisis," kata Perry.
Ia melanjutkan, upaya BI dalam menstabilkan kurs rupiah dengan membeli surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder, membuat cadangan devisa BI turun sampai dengan US$ 9 miliar.
"Makanya cadangan devisa kami turun dari US$ 130,4 miliar jadi sekitar US$ 120 miliar, itu kurang lebih US$ 2 miliar untuk bayar utang pemerintah, dan US$ 7 miliar untuk tambah intervensi di pasar spot pada saat yang sama," imbuhnya.
Baca Juga: Rupiah masih fluktuatif, begini penjelasan Gubernur BI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News