kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45911,32   -12,18   -1.32%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Gejolak Kenaikan Harga Energi Bikin Subsidi Bengkak, Ini Kata Ekonom


Minggu, 10 April 2022 / 20:01 WIB
Gejolak Kenaikan Harga Energi Bikin Subsidi Bengkak, Ini Kata Ekonom
ILUSTRASI. Pekerja memasang gas LPG untuk bahan bakar gas oven roti di Jonggrangan, Klaten, Jawa Tengah,


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia pada Desember lalu telah memutuskan untuk menaikkan harga Liquefied Petroleum Gas (LPG) non-subsidi. Hal ini dirasa semakin berat karena adanya kenaikan tarif PPN 11% yang berlaku pada 1 April 2022.

Selain itu pemerintah juga menetapkan kenaikan harga pertamax per 1 April 2022 menjadi Rp 12.500 – Rp 13.000 per liternya. Kenaikan ini dari harga pertamax yang sebelumnya berkisar di harga Rp 9.000 – Rp 9.400 per liternya.

Kebijakan ini tentu akan membuat terjadinya disparitas harga antara LPG non subsidi 5 kg dan 12 kg dengan LPG bersubsidi 3 kg yang akan mendorong konsumen memilih berganti ke komoditas bersubsidi yang lebih murah.

Baca Juga: YLKI : Subsidi Energi Harus Tepat Sasaran

Hal ini membuat subsidi rawan membengkak sehingga pengeluaran pemerintah terkait subsidi bisa lebih besar.

Pengamat ekonomi IndiGo Network Ajib Hamdani mengatakan, dari sisi subsidi, pemerintah bisa menyesuaikan dengan penyediaan barang subsidi sesuai batasan ketersediaan, sehingga alokasi subsidi tetap bisa terkontrol.

Namun menurutnya, risikonya ada pada masyarakat. Misalnya ketika ketersediaan pertalite atau LPG 3 kg terbatas, atau bahkan ada saatnya tidak tersedia di lapangan, maka terpaksa masyarakat akan mengalihkan konsumsinya ke barang yang tidak disubsidi.

Sehingga secara ekonomi, menuruntnya hal ini akan membuat tingkat kesejahteraan masyarakat menjadi menurun dan inflasi akan naik.

“Risikonya adalah masyarakat harus membeli kebutuhan mendasarnya dengan harga yang lebih tinggi. Inilah yang bisa mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat,” ujar Ajib kepada Kontan.co.id, Sabtu (9/4).

Kepala Center of Digital Economy and SMEs INDEF Eisha Rachbini menilai, akibat dari perpindahan konsumen yang beralih ke LPG subsidi 3 kg akan menimbulkan kelangkaan sehingga masyarakat kalangan bawah yang seharusnya menikmatinya malah kesusahan untuk mendapatkan LPG subsidi dan pertalite.

Sehingga pemerintah harus memastikan pendistribusian LPG subsidi dan pertalite tepat sasaran untuk menghindari terjadinya kelangkaan.

“Jika permintaan tinggi terus dipenuhi dengan supply LPG subsidi dan pertalite, pemerintah jadinya menanggung beban subsidi yang besar,” kata Eisha.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, saat ini subsidi baik BBM dan listrik telah disalurkan berdasarkan jumlah orang penerima, jumlah penerima ini pun diberikan berdasarkan Data Terpada Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Baca Juga: Ada Subsidi Dari Pemerintah, Harga Pertalite dan LPG 3 Kg Bisa Lebih Murah

Menurutnya, jika pemerintah ingin menambah jumlah penerima subsidi, maka pemerintah tentu perlu melakukan penyesuaian dari data penerima subsidi. Selain itu cara lainnya adalah pemerintah menanggung setengah atau penuh harga keekonomian dari harga BBM dan atau listrik.

“Kedua cara inilah yang kemudian bisa ditempuh pemerintah dan dengan pertimbangan beban inflasi di tahun ini yang akan relatif tinggi dibandingkan tahun lalu maka melakukan penyesuaian anggaran subsidi melalui satu di antara kedua cara tersebut perlu dilakukan,” kata Yusuf.

Adapun dalam waktu pelaksanaannya, dirinya memperkirakan bisa berada di kisaran tiga sampai enam bulan ke depan, seperti yang dilakukan pemerintah dalam pemberian insentif diskon listrik di dua tahun sebelumnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×