Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Selanjutnya, tarif tinggi yang ditetapkan AS atas China akan mengakibatkan negara itu mencari pasar alternatif, salah satunya Indonesia.
Dampaknya, Indonesia akan mengalami kebanjiran produk China dengan harga yang lebih murah. Khususnya di industri elektronik, plastik, produk dari besi dan baja, furniture, pakaian, sepatu, serta kendaraan dan aksesorisnya dengan potensi nilai impor sebesar 221,6 miliar dollar AS.
"Yang mengkhawatirkan adalah strategi pelaku usaha dalam pasar yang oversupply, umumnya yang dilakukan adalah perilaku praktik predatory pricing atau menjual dengan harga rugi," tutur Aru.
"Jadi perilaku ini sangat rawan terjadi dan KPPU, pemerintah, dan pemerintah harus dapat mencegah hal ini terjadi dengan memfokuskan pengawasan pada produk yang berkaitan dengan ekspor dan impor," lanjutnya.
Dampak ketiga, perusahaan yang bergantung pada ekspor ke AS akan mengurangi produksi akibat permintaan yang turun, sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya badai PHK atau bahkan penutupan pabrik.
Aru bilang, industri manufaktur seperti garmen, alas kaki, atau furniture yang banyak mengekspor ke AS akan paling merasakan dampaknya.
Tonton: Penertiban Lahan Sawit di Kawasan Hutan Berpotensi Turunkan Produksi CPO
Jika permintaan domestik tidak cukup kuat karena daya beli masyarakat terbatas, maka kelebihan stok akan menumpuk di gudang sehingga meningkatkan biaya penyimpanan dan menimbulkan kerugian bisnis.
Dampak keempat, terjadinya peningkatan konsolidasi usaha global melalui praktik merger dan akusisi.
"Tingginya, biaya ekspor dapat diantisipasi oleh negara lain dengan memperlakukan praktik akusisi perusahaan domestik di negara tujuan ekspor," kata Aru.
"Umumnya, transaksi difokuskan pada industri yang sudah terdampak di negara tujuan. Karena itu, pengawasan di bidang merger dan akusisi harus ditingkatkan untuk mencegah upaya penciptaan posisi dominan melalui praktik merger dan akusisi," ungkapnya.
Sehingga ia menyarankan pemerintah untuk memperketat pengawasan secara bersama melalui Kementerian Hukum, Kementerian Perindustrian, Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ada Tarif AS, Ekspor Minyak Sawit Indonesia Bisa Kalah dari Malaysia"
Selanjutnya: Laba Bersih ADHI Turun 96,88% per Kuartal I 2025
Menarik Dibaca: Tak Bisa Hidup Tanpa Nonton Serial Jadi Tanda Kesepian, Cek Tanda Lainnya di Sini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News