Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sidang kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor minyak kelapa sawit atau CPO kembali bergulir di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam persidangan ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi pegawai di Direktorat Statistik Harga Badan Pusat Statistik (BPS).
Akademisi Universitas Al-Azhar Indonesia Sadino mengatakan, saksi yang dihadirkan dari BPS dalam kesempatan tersebut tidak ada standar yang mengkategorikan angka inflasi tertentu termasuk tinggi atau rendah. Karena itu pemerintah seharusnya tak buru-buru menilai sebuah kondisi dan membatasi harga minyak goreng yang menjadi pemicu kelangkaan.
Saksi yang dihadirkan JPU tersebut menegaskan bahwa BPS tidak pernah menetapkan inflasi bulan tertentu kecil atau besar dan BPS tidak pernah mengasumsikan kecil atau besar sebuah inflasi.
Baca Juga: Tinggal Selangkah Lagi, Indonesia Bisa Jadi Negara Maju dengan Pendapatan US$ 10.000
Bertolak dari keterangan saksi tersebut, Sadino mengatakan bahwa penyebab kelangkaan minyak goreng beberapa waktu lalu itu terjadi karena kebijakan pemerintah yang menilai inflasi sudah tinggi. Kemudian menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) tanpa mempertimbangkan harga internasional yang membuat minyak goreng langka di pasaran.
Hal itu terlihat setelah Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencabut kebijakan HET pada Maret, minyak goreng membludak di pasaran.
"Jadi kelangkaan minyak goreng bukan disebabkan pelaku usaha melakukan ekspor berlebihan, namun karena adanya kebijakan HET," ujar Sadino dalam keterangannya, Selasa (25/10).
Selain itu, lanjut Sadino, saksi yang dihadirkan dalam beberapa kali persidangan tak menyebutkan adanya kerugian negara. Bahkan saksi dari PT POS Indonesia mengatakan, Bantuan Langsung Tunai (BLT) itu program pemerintah untuk sembako, termasuk salah satunya minyak goreng.
Kisruh migor mengakibatkan kerugian bagi pemerintah, pelaku usaha dan yang paling mengalami kerugian adalah petani kelapa sawit yang sampai saat ini belum pulih dan berdampak pada pemeliharaan kebun sawit saat ini yang tentunya mempengaruhi produktivitas kebunnya pada tahun berikutnya.
Baca Juga: Menteri-Menteri Ini Dipanggil Jokowi ke Istana, Siapa yang Akan Terkena Reshuffle?
Dalam kesempatan terpisah, ekonom senior Faisal Basri, menilai kebijakan pemerintah menyetop ekspor CPO adalah kebijakan terburuk sepanjang masa karena merugikan semua pihak.
Faisal Basri, mengatakan masalah kelangkaan minyak goreng yang terjadi beberapa waktu lalu tak terlepas dari larangan pemerintah mengekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya. Dia menilai kebijakan itu adalah keputusan terburuk.
Faisal mengatakan seharusnya pemerintah dalam menentukan kebijakan berdasarkan analisis dampaknya.
Baca Juga: Minyak Goreng Sempat Langka Dinilai Karena Kebijakan Pemerintah yang Inkonsisten
Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menambahkan permasalahan stabilitas harga dan pasokan minyak goreng bersumber sekurang-kurangnya dari tiga hal.
Pertama, masalah tata niaga terutama pada saat menghadapi kenaikan harga CPO di pasar internasional. Kedua, ketidakmampuan pengambil kebijakan dalam mengendalikan pasokan CPO untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.
Dan ketiga, tidak tersedianya data produksi dan konsumsi minyak goreng yang akurat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News