Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Faisal juga menguraikan, jika omnibus law bertujuan untuk menggenjot investasi agar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, boleh jadi jauh api dari panggang. Jika investasi asing yang hendak disasar, justru belakangan ini investor asing banyak yang “diusir”.
"Malahan pemerintah mendorong pelaku dalam negeri untuk mengambil alih investasi asing: saham Freeport diambil alih BUMN (PT Inalum), Blok Mahakam dan Blok Rokan diambil alih PT Pertamina, Holcim juga diambil alih oleh BUMN (PT Semen Indonesia)," paparnya.
Begitu pun, asing masih saja cukup antusias berinvestasi di Indonesia. Di Asia, Indonesia paling diminati setelah China dan India.
Baca Juga: Pemerintah pastikan bidang usaha ini masuk ke daftar prioritas investasi
Faisal juga menyodorkan sejumlah data. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia masuk dalam top-20 penerima investasi langsung asing (foreign direct investment). Bahkan, peringkat Indonesia naik dari posisi ke-18 (2017) menjadi ke-16 (2018). Pada 2018, posisi Indonesia dua peringkat di atas Vietnam.
Investasi dari China mengalir cukup deras, sedemikian kasat mata. Data terbaru menunjukkan posisi Indonesia naik tajam dalam China Going Global Investment Index.
Sejak Indonesia merdeka, investasi langsung asing tidak pernah menjadi andalan. "Karena memang Indonesia cenderung menutup diri dengan membangun tembok tinggi, penuh kawat berduri. Jadi, solusinya bukan dengan omnibus law," paparnya.
Rendahnya investasi asing itulah yang mebuat Indonesia tidak menjadi bagian menarik dari global supply chains dan membuat perekonomian Indonesia relatif semakin tertutup.
Baca Juga: Aturan upah jam-jaman masuk RUU omnibus law Cipta Lapangan Kerja
"Investasi di sektor migas cenderung merosot sehingga produksi turun terus, mengakibatkan impor minyak membengkak. Biang keladinya adalah karena pemerintahlah yang menghambat," ujarnya.
Dia juga bilang, tantangan terbesar Indonesia adalah bagaimana meningkatkan kualitas investasi. Selama ini kebanyakan investasi dalam bentuk bangunan. Sedangkan investasi dalam bentuk mesin dan peralatan hanya sekitar 10%. "Bagaimana hendak meningkatkan ekspor kalau investasi mesin dan peralatan relatif rendah. Bandingkan dengan negara emerging market lain yang investasi mesin dan peralatannya jauh lebih tinggi," urainya.