Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Pemerintah memutuskan memperpanjang waktu evaluasi harga bahan bakar minyak (BBM) dari per dua minggu menjadi minimal tiga bulan sekali. Perubahan kebijakan ini akan berdampak positif bagi inflasi. Kenaikan indeks harga konsumen (IHK) akan lebih mudah terkendali karena periode kenaikan banderol BBM semakin lama.
Memang, sejak pemerintah mencabut subsidi premium dan menerapkan evaluasi harga BBM per dua minggu, inflasi sulit terkendali. Ini terutama saat terjadi kenaikan harga BBM, harga-harga barang dan inflasi ikut melonjak.
Seperti pada Maret dan April 2015 yang terjadi inflasi, masing-masing 0,17% dan 0,36%. Tahun-tahun sebelumnya umumnya terjadi deflasi pada bulan itu. Kalaupun ada inflasi, nilainya relatif kecil.
Pada Maret, penyumbang inflasi terbesar adalah dari komponen harga diatur pemerintah. Nah, BBM termasuk barang yang harganya diatur pemerintah. Mengingatkan saja, pemerintah memutuskan harga premium mulai 1 Maret 2015 naik Rp 200 per liter menjadi Rp 6.800 per liter di wilayah Jawa, Madura, dan Bali, sedangkan di luar kawasan itu Rp 6.900 per liter.
Kenaikan kembali terjadi mulai 28 Maret, harga premium di luar Jawa, Madura, dan Bali menjadi Rp 7.300 dan di wilayah Jawa, Madura, dan Bali jadi Rp 7.400 per liter. Harga solar pun naik jadi Rp 6.900 dari Rp 6.400 per liter. Harga gas elpiji kemasan 12 kilogram pun naik sebesar Rp 5.000 per tabung menjadi Rp 134.000 pada awal Maret. Tak heran, komponen energi menyumbang inflasi 1,77%.
Sedangkan pada April, komponen harga diatur pemerintah berandil 1,88% terhadap inflasi bulan itu. Khusus untuk energi, tingkat inflasi mencapai 2,71%. Ini menyusul kenaikan harga premium sebesar Rp 500 per liter dan pertamax menjadi Rp 8.600 per liter.
Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistyaningsih mengatakan, efek kebijakan ini dari sisi inflasi akan berdampak positif. Sebab pemerintah bisa memperkirakan laju inflasi hingga akhir tahun. Dengan begitu, Lana memperkirakan target inflasi 4% tahun ini bisa tercapai.
Namun, akan ada masalah bagi PT Pertamina. "Jika gejolak harga minyak dunia dalam tiga bulan bergerak tinggi, Pertamina bisa menderita kerugian yang cukup besar," kata Lana, Selasa (20/5).
Ekonom Bank Nasional Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto, menilai perubahan kebijakan ini menunjukkan kegagalan pemerintah mengendalikan harga. Pasalnya, saat harga BBM naik, pemerintah tidak bisa menjaga stabilitas harga barang yang lain.
Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto pasrah jika korporasi yang dia pimpin dirugikan atas kebijakan ini. "Toh, perusahaan ini kan BUMN, milik pemerintah, ya terserah pemerintah," kata Dwi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News