Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mendeteksi tahun ini akan menjadi momentum sulit bagi penerimaan pajak. Upaya ekstensifikasi basis pajak baru dinilai bakal minim.
Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo mengatakan, fungsi pajak saat ini memang diarahkan untuk mendorong kestabilan ekonomi.
Bukan lagi sebagai penerimaan. Ini mengingat dampak dari corona virus disease 2019 (Covid-19) begitu terasa dalam perekonomian dalam negeri. Dus pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) bakal ciut.
Baca Juga: Sri Mulyani serahkan surat presiden untuk Perppu 1/2020 ke DPR
“Menurut saya memang harus relaksasi tidak ada pilihan lain, semua sektor terkena, tidak ada bayangan ada ekstensifikasi lagi,” kata Prastowo kepada Kontan.co.id, Kamis (2/4).
Kata Prastowo, paling otoritas pajak hanya bisa intensifikasi melakukan pengawasan secara sektoral kepada bidang usaha yang selama ini mendapatkan keuntungan akibat Covid-10. Misalnya, sektor kesehatan, makanan dan minuman, serta tekstil.
“Sektor kesehatan banyak diberikan insentif, kan ada penjualan dari produk-produk farmasi dan kesehatan lainnya,” kata dia.
Dari sisi PPh, tentunya profitabilitas korporasi turun, sehingga setoran pajaknya cenderung melemah. Apalagi ada insentif pembebasan PPh Badan sebanyak 30% untuk industri manufaktur dan penurunan PPh Badan dari 25% menjadi 22%.
Baca Juga: Potensi penerimaan PPN dari pajak digital bisa sampai Rp 10,4 triliun
Dari sisi PPN, meski produktifitas perusahaan diharapkan tumbuh dengan stimulus pajak, namum rendahnya konsumsi dengan mobilitas yang terbatas membuat batu sandungan.
Di sisi lain, penerapan pajak atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dinilai dapat menjadi basis penerimaan yang cukup menjanjikan.
Prastowo menyampaikan seharusnya potensi penerimaan dari PMSE cukup tinggi karena meningkatnya aktivitas digital ekonomi. Ini juga menjadi fairness bagi PMSE dalam negeri.
Prastowo meramal penerimaan pajak baru bisa pulih paling cepat tahun 2022. Ini dengan catatan otoritas pajak tetap mengevaluasi stimulus pajak yang sudah digelontorkan secara berkala.
Selain itu, disediakan juga strategi recovery penerimaan pajak dalam beberapa tahun ke depan. “Jadi ada roadmap menengah dan panjangnya,” kata Prastowo.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan penerimaan negara tahun ini akan kontraksi sebesar 10% year on year (yoy).
Baca Juga: Penyesuaian harga gas untuk sektor industri, PGAS tunggu aturan turunan
Penurunan penerimaan negara ini akibat aktivitas ekonomi terganggu oleh merebaknya Covid-19 baik dari sisi penerimaan pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Bila hal tersebut terjadi pada penerimaan pajak, maka realisasi tahun ini hanya sekitar Rp 1.199 triliun, kontraksi 10% bila dibandingkan dengan realisasi tahun lalu sebanyak Rp 1.332,1 triliun.
Angka tersebut semakin jauh dari target penerimaan yang ditetapkan tahun ini senilai Rp 1.642,6 triliun. Dus shortfall pajak tahun 2020 senilai Rp 443,6 triliun.
Baca Juga: Satu lagi pasien positif virus corona di Yogyakarta dinyatakan sembuh
"Penerimaan perpajakan turun akibat kondisi ekonomi yang melemah, dukungan insentif pajak dan penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk turun dampak jatuhnya harga komoditas," kata Menkeu, Rabu (1/4).
Dampak Covid-19 pun diakui sudah terasa sejak penerimaan pajak awal tahun. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) realisasi penerimaan pajak Januari-Februari 2020 sebanyak Rp 152,9 triliun, turun hingga 4,9% secara tahunan dibandingkan dengan pencapaian pada periode sama tahun lalu senilai Rp 160,9 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News