Reporter: Noverius Laoli | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melarang ekspor bibit nener atawa bandeng membuat resah para pembibit nener. Bali yang merupakan sentra pembudidaya nener mampu memproduksi nener sebanyak 20 juta ekor per hari. Harga setiap bibit sebesar Rp 30 hingga Rp 32. Bila ekspor bibit nener jadi dibatasi, maka pembudidaya nener akan kehilangan penghasilan yang cukup besar. Bahkan berpotensi membuat pembibit nener gulung tikar.
Perwakilan pembudidaya nener asal Bali I Ketut Bandesa mengatakan saat ini pihaknya bisa meningkatkan produksi nener hingga 30 juta ekor sampai 40 juta ekor per hari bila ada pasarnya. Namun rencana KKP melarang ekspor bibit nener membuat para pembudidaya mengalami kerugian yang besar. Sebab berdasarkan hitungan pembibit nener, rata-rata kebutuhan nener dalam negeri setiap hari hanya sekitar 7 juta sampai 8 juta ekor. "Jadi kerugian kami bisa mencapai miliaran rupiah per tahun," ujar Bandesa kepada KONTAN, Rabu (25/3).
Bandesa menjelaskan, alasan KKP yang menilai pembatasan ekspor nener bertujuan memenuhi kebutuhan dalam negeri tidak berdasar. Soalnya, yang menjadi persoalan mengapa ada yang kekurangan nener karena distribusi yang tidak baik. Masalah yang sering menghalangi penjualan nener dalam negeri adalah transportasi.
Bandesa mengatakan larangan ekspor nener akan membuat pembudidaya nener bangkrut. Sebab larangan ekspor nener membuat pasokan dalam negeri melimpah dan harga pasti akan jatuh. Dengan demikian, para pembudidaya akan beralih ke pekerjaan lain. Bandesa sendiri sudah ancang-ancang meninggalkan budidaya nener dan memilih budidaya vaname. Tapi pembudidaya kecil yang fasilitas mereka masih senderhana yang mengalami kerugian paling besar, karena mereka harus mengganti alat budidaya lagi untuk bisa melakukan budidaya ikan jenis yang lain.
Bandesa juga bilang, kebijakan ini selain merugikan pembudidaya lokak juga menutup peluang pasar di luar negeri. Ia bilang, negara-negara pengimpor bibit nener dari Indonesia seperti Malaysia dan Filipina bukannya tidak dapat memproduksi bibit nener sendiri, tapi justru karena biaya produksi nener di sana lebih mahal ketimbang langsng impor dari Indonesia. "Jadi mereka sudah mulai ancang-ancang mengembangkan lagi budidaya bibit nener sendiri," terang Bandesa.
Ia juga menyayangkan pernyataan yang acapkali dikemukakan pemerintah yang ingin mengosongkan stok ikan dunia. Hal itu justru dinilai menimbulkan kebencian produsen ikan asal negara lain yang menilai Indonesia arogan dan akhirnya mempersulit pengusaha ikan di pasar ekspor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News