Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Lagi-lagi, bekas pejabat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Kali ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan eks pegawai dari DJP Kemenkeu, Muhammad Haniv sebagai tersangka dugaan korupsi berupa penerimaan gratifikasi.
Haniv pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) DJP Provinsi Banten pada 2011.
Kemudian, pada 2015-2018, Haviv pernah menjabat sebagai Kakanwil Ditjen Pajak Jakarta Khusus.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyampaikan kekhawatirannya terhadap dampak kasus korupsi di sektor pajak terhadap tingkat kepercayaan masyarakat kepada Otoritas Pajak.
Baca Juga: Eks Pejabat Pajak Terlibat Korupsi, Ditjen Pajak Jaga Kepatuhan Wajib Pajak
Fajry menilai, jika kasus ini menyebabkan penurunan kepatuhan wajib pajak, maka otoritas pajak akan mengalami kesulitan dalam meningkatkan kepatuhan sukarela atau voluntary compliance.
Menurutnya, kepatuhan sukarela ini penting. Hal ini dikarenakan Otoritas Pajak di berbagai dunia bergantung pada kepatuhan sukarela.
"Pada kenyataannya, kita tidak bisa hanya bergantung pada efek jera yang dihasilkan dari pemeriksaan pajak, karena jumlah wajib pajak jauh lebih banyak dibandingkan jumlah petugas pajak," kata Fajry kepada Kontan.co.id, Rabu (26/2).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kepatuhan pajak tidak hanya sebatas kepatuhan formal, seperti melaporkan Surat Pemberitahuan(SPT) Tahunan, tetapi juga kepatuhan material.
Artinya, wajib pajak tidak hanya sekadar melaporkan SPT, tetapi juga memberikan informasi yang benar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perpajakan.
Selain faktor kepercayaan terhadap otoritas pajak, Fajry juga menyoroti keterkaitan antara kondisi ekonomi, dunia usaha, dan ketenagakerjaan dengan tingkat kepatuhan formal dalam lima tahun terakhir.
Ia melihat ketika kondisi ekonomi dan dunia usaha melemah, tingkat kepatuhan formal juga mengalami penurunan, terutama bagi wajib pajak orang pribadi non-karyawan.
Menurunnya kepatuhan formal ini lebih dikarenakan meningkatnya jumlah wajib pajak yang seharusnya berstatus NE (non efektif), baik badan maupun orang pribadi.
"Sedangkan jumlah wajib pajak yang seharusnya berstatus NE meningkat ketika terjadi peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) ataupun penutupan usaha," kata Fajry.
Baca Juga: Diduga Terima Gratifikasi, KPK Tetapkan Eks Pejabat Pajak Jadi Tersangka Korupsi
Fajry menambahkan pada tahun 2024, pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Di sisi lain, isu PHK juga menjadi sorotan sepanjang tahun tersebut.
Kondisi ini berpotensi memperburuk tingkat kepatuhan formal, yang pada akhirnya dapat berdampak pada penerimaan pajak.
Selanjutnya: Semen Indonesia (SMGR) Dorong Transformasi Industri Semen Menuju Ekonomi Hijau
Menarik Dibaca: Gula pada Makanan dan Minuman Manis Bisa Memperparah Asam Urat! Ini Penjelasannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News