Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perekonomian Indonesia nampaknya memiliki potensi cukup besar untuk mengalami soft landing perekonomian. Kondisi soft landing ini berarti, pertumbuhan ekonomi tidak bisa naik signifikan, tetapi juga tidak juga turun tajam.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menyebut, potensi soft landing ini bisa terjadi di kisaran akhir tahun 2022 atau awal tahun 2023. Penyebab utama dari kondisi ini adalah peningkatan inflasi.
"Kemungkinan cukup besar untuk kita berada di kondisi soft landing. Pasalnya, inflasi sejauh ini belum capai titik puncak dan akan terus tumbuh. Saat inflasi ini tumbuh tinggi, tentu ini yang akan berdampak pada daya beli masyarakat dan jadi sumber perlambatan ekonomi," kata Riefky kepada Kontan.co.id, Selasa (13/9).
Baca Juga: Indonesia Masih Kuat, di Saat Perekonomian Dunia Melambat
Riefky menduga, pada kuartal III-2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih cukup tinggi, yaitu di atas 5% secara tahunan atau year on year (yoy).
Ini juga karena faktor basis rendah (low based effect) pada periode sama tahun sebelumnya. Nah, baru pada kuartal IV-2022, pertumbuhan bisa lebih rendah dari capaian kuartal III-2022 tersebut.
Sedangkan puncak inflasi pada tahun 2022 diperkirakan Riefky terjadi pada akhir tahun 2022, yaitu saat dampak lanjutan (second round impact) peningkatan harga bahan bakar minyak (BBM) masih bergulir, ditambah potensi peningkatan inflasi dari sisi permintaan.
"Mengingat biasanya pada akhir tahun ada momen musiman peningkatan permintaan pada libur Natal dan Tahun Baru. Ini nampaknya akan mendorong inflasi," tambah Riefky.
Baca Juga: Baramulti Suksessarana (BSSR) Tebar Dividen Interim Jumbo, Cek Besaran dan Jadwalnya
Untuk menekan risiko tersebut, Riefky mengatakan Bank Indonesia (BI) bisa mengambil langkah untuk mengetatkan kebijakan moneter, yaitu dengan kembali meningkatkan suku bunga acuan di sisa tahun ini. Harapannya, langkah BI ini akan mereduksi peningkatan inflasi.
Sedangkan dari sisi fiskal, pemerintah bisa terus menjaga daya beli masyarakat terutama yang miskin dan rentan dengan jaring pengaman sosial.
Tindakan pemerintah yang responsif ini harapannya bisa memberi otot bagi konsumsi rumah tangga untuk tetap tumbuh. Apalagi, konsumsi rumah tangga merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News