kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ekonom UI nilai penurunan suku bunga BI tak signifikan dongkrak ekspor


Rabu, 13 Februari 2019 / 15:10 WIB
Ekonom UI nilai penurunan suku bunga BI tak signifikan dongkrak ekspor


Reporter: Benedicta Prima | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya Wakil Presiden Jusuf Kalla, Selasa (12/2) yang meminta Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuannya dinilai tidak berdampak signifikan untuk meningkatkan ekspor. Pasalnya faktor yang mendorong kenaikan ekspor adalah nilai tukar.

Menurut Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (13/2), apabila berbicara dengan nilai tukar, maka BI membuat keputusan yang tepat untuk menaikkan suku bunga yang saat ini di level 6%. Sebab kenaikan suku bunga ini dilakukan untuk mengontrol nilai tukar tidak terlalu terdepresiasi.

Jika BI menurunkan suku bunga saat ini, maka rupiah akan mengalami depresiasi. Akibatnya harga barang impor semakin mahal. Sedangkan berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) maupun BI, impor yang dilakukan paling banyak untuk barang modal dan bahan baku/penolong sekitar 90,89% dari seluruh total impor sepanjang 2018.

"Risiko depresiasi nilai tukar itu justru akan menghambat ekspor," ujar Fithra.

Artinya, saat rupiah lemah, saat sektor industri membutuhkan bahan baku impor, nilainya akan jauh lebih tinggi. Sehingga dalam biaya produksi, industri mengeluarkan biaya yang tinggi. Biaya tersebut, dapat menghambat ekspor , karena harga tidak mampu bersaing di pasar.

Fithra membandingkan kondisi ini dengan tahun 1998 saat Indonesia mengalami krisis. Saat itu rupiah terdepresiasi cukup dalam, namun ekspor tumbuh tinggi, sebab keseluruhan ekspor masih mengandalkan komoditas mentah. Saat rupiah lemah, maka harga ekspor cenderung murah.

Sedangkan saat ini, jelas Fithra, 40% ekspor sudah berasal dari manufaktur. "Artinya membiarkan suku bunga turun, saya rasa ekspornya akan semakin terpuruk," tambah dia.

Lagi pula, terkait pendorongan ekspor, tidak relevan apabila mengharapkan suku bunga BI karena ranah ini lebih besar pada otoritas fiskal. Pun perlu transmisi lama terkait pergerakan nilai tukar ke pertumuhan ekspor.

BI juga bergerak bukan di sektor riil. BI hanya memiliki tugas untuk menstabilkan nilai tukar. Antar kementerian dan lembaga yang perlu bersinergi untuk membangkitkan kinerja industri yang pertumbuhannya 4,07% di bawah pertumbuhan ekonomi 5,17%.

Kendati demikian, memang perlu disadari bahwa suku bunga BI lebih tinggi bila dibandingkan suku bunga bank sentral negara tetangga. Berdasarkan data Trading Economics, suku bunga acuan Thailand saat ini 1,75%, Malaysia 3,25%, Filipina 4,75% dan Singapore 1,76%. Sedangkan Indonesia sudah jauh di atas negara tersebut yakni 6%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×