Reporter: Grace Olivia | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pesta demokrasi tinggal hitungan hari. Akhir pekan ini, Sabtu (13/4), kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden akan melaksanakan rangkaian terakhir debat dengan topik Ekonomi, Kesejahteraan Sosial, Keuangan dan Investasi, serta Perdagangan dan Industri.
Para ekonom dan analis pun mengangkat diskusi, terkait isu-isu apa saja yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan selanjutnya di sektor ekonomi, keuangan, investasi, hingga perdagangan, industri, serta kesejahteraan sosial. Pasalnya, tantangan Indonesia dalam sektor-sektor tersebut tidak makin mudah di periode 2019-2024.
Pengamat ekonomi Agustinus Prasetyantoko menilai tantangan perekonomian Indonesia di tahun-tahun ke depan tidak hanya bersumber dari dalam negeri, tetapi juga dari kondisi global.
"Siapa pun pemerintahan yang terpilih akan menghadapi persoalan yang cukup sulit, terutama terkait dengan tekanan global. Begitu juga dari sisi bisnis dan industri dalam negeri," ujar Agustinus, yang juga Rektor Unika Atma Jaya tersebut, Rabu (10/4).
Perlambatan ekonomi global, akan menjadi salah satu sentimen buruk yang menyelimuti perekonomian setidaknya dalam kurun 1-2 tahun ke depan. Seperti yang diketahui, Dana Moneter Internasional (IMF) baru saja memangkas lagi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari sebelumnya 3,5% menjadi menjadi 3,3% di tahun 2019.
Agustinus melihat, hal ini akan merembet ke iklim bisnis dan industri yang semakin sulit berekspansi. Di tengah kondisi global saat ini, menurut Agustinus, masih ada sejumlah aspek yang dapat dikendalikan oleh pelaku usaha untuk mengurangi dampak negatif. Terutama dari sisi input yang terkait dengan biaya bahan baku dan tenaga kerja.
"Hanya sisi itu yang bisa benar-benar dikendalikan oleh pelaku usaha. Bagaimana mengurangi cost untuk bahan baku, terutama yang masih impor, juga mengurangi cost untuk tenaga kerja. Di sisi ini juga pemerintah nanti mesti menyusun kerangka kebijakan yang tepat dan cepat juga dalam implementasinya," ujar dia.
Secara singkat, isu dalam dunia usaha yang disorotinya berkaitan dengan daya saing dan produktivitas. Sebab, Indonesia bersaing ketat dengan negara-negara tetangga yang bisnis dan industrinya melaju dengan cepat serta efisien lantaran memiliki produktivitas dan daya saing yang tinggi.
Senada, Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Nawir Messi juga memandang, persoalan perekonomian Indonesia masih pelik dan berat bagi siapa pun presiden yang nantinya menjabat.
"Kita tidak bisa terlalu optimistis dengan situasi perekonomian domestik kita. Perkiraannya, ekonomi kita tidak akan terlalu membaik seperti prediksi banyak orang," kata Nawir dalam diskusi Indef soal Tantangan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial, Kamis (11/4).
Salah satu tantangan yang krusial, menurutnya, adalah memperbaiki keseimbangan kuantitas dan kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Secara rata-rata, Indonesia mengalami pertumbuhan dengan laju 5,27% year-on-year dalam dua dasawarsa terakhir (2000-2018).
Pekerjaan rumah pemerintah selanjutnya tak hanya sekadar mengakselerasi pertumbuhan agar dapat mencapai laju 6%-7% per tahun. Akan tetapi juga memastikan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan peningkatan jumlah orang bekerja, penurunan kemiskinan yang lebih signifikan, dan pengurangan ketimpangan.
Belum lagi ketimpangan yang tercermin dari konsentrasi PDB di Pulau Jawa. Indef mencatat, porsi PDB di Jawa pada 2014 mencapai 57,4%. Tahun lalu, porsi tersebut justru makin meningkat menjadi 58,48% dari PDB Nasional.
"Artinya, pembangunan dan kegiatan ekonomi kita selama ini masih Jawa sentris. Ini perlu perhatian serius karena tak hanya menyangkut masalah ekonomi, tetapi juga masalah politik," tandas Nawir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News