Reporter: Choirun Nisa | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Pengamat ekonomi Institute For Economic and Development Finance (Indef) Bima Yudhistira menyatakan setuju terhadap sikap Presiden Joko Widodo yang lebih mengedepankan perjanjian perdagangan bilateral, dibandingkan multilateral dan regional.
"Untuk strategi lima tahun ke depan, perdagangan Indonesia akan maju jika menggunakan strategi ini," ujar Bima ketika dihubungi KONTAN via telepon.
Bima menyatakan, strategi bilateral adalah jalan terbaik setelah. Kini, perjanjian multilateral, seperti Trans Pacific Partnership (TPP) sudah tidak dibahas lagi. Di lingkup yang lebih kecil seperti Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dampaknya juga belum terlalu terasa. Sedangkan perjanjian G-20 diliputi ketidakpastian sejak Presiden AS Donald Trump mengubah peta kekuasaan perdagangan.
"Jadi, strategi sekarang adalah penetrasi dengan membuka hubungan bilateral," ujar Bima.
Bima mencontohkan, misalnya perjanjian bilateral Trade Agreement antara Indonesia dengan Pakistan sejak 2013. Hingga kini, perjanjian ini menghasilkan surplus signifikan, terutama dengan komoditas kelapa sawit. Tak hanya itu, menurut Bima, perjanjian bilateral mampu menghilangkan hambatan ekspor, salah satunya adalah bea masuk yang signifikan.
"Dengan Chili misalnya, tak hanya sawit, tetapi produk lainnya pun bea masuknya turun secara signifikan. Kemudian, dengan Afrika Selatan pun bea masuknya bisa turun sampai 40% dari nilai produk," ujarnya menerangkan.
Biasanya, Menurut Bima, dalam multilateral yang menjadi kendala adalah bea masuk sehingga harga jual menjadi mahal. Harga ini pun belum ditambah dengan harga-harga non-tarif lainnya. Belum lagi, jika ada persyaratan khusus lainnya, misalnya seperti pasar di Eropa.
"Jika mau masuk pasar Eropa kan harus ada sertifikasi lingkungan dan hal ini membuat Indoensia malas mencoba pasar baru dengan standar yang aneh tersebut," kata dia.
Oleh karena itu, bilateral adalah jalan terbaik bagi perekonomian Indonesia ke depannya, Menurut Bima, karena lebih efektif dan efisien karena dapat menyamakan persepsi dan standar di antara kedua negara, meski ada pula kekurangannya.
"Bilateral mungkin prosesnya relatif lebih lama. Harus beberapa kali kunjungan, negosiasi antara dua negara, dan ada harmonisasi," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News