Reporter: Ardian Taufik Gesuri | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Banyak analis memprediksi perekonomian AS sudah mencapai puncaknya pada triwulan pertama 2019. Kini, dampak perang dagang mulai terasa, perekonomian mereka mulai melemah.
Untuk itu, Indonesia harus waspada karena bisa terkena efek kebijakan Presiden AS Donald Trump. Demikian ulasan M. Noor Nugroho, analis senior Bank Indonesia (BI), ketika ditemui Kontan.co.id bersama beberapa pemred media di kantornya, Perwakilan BI di New York, Jumat pekan lalu.
Menurut Nunu, panggilan akrab Nugroho, secara umum kondisi perekonomian AS solid. Secara tahunan (year on year), produk domestik bruto (PDB) dalam tren naik terus sejak pertengahan 2016 sampai triwulan pertama 2019. Kondisi ekonomi AS pun kelihatan superior karena naik tinggi di tengah kondisi global yang lemah.
Tapi, perekonomian AS diprediksi mulai melambat setelah mencapai puncak pada triwulan pertama lalu. “Ke depannya mulai slowing,” ujar Wakil Kepala Perwakilan BI di New York itu, “Tapi, apakah perekonomiannya akan turun secara moderat atau gradual ataukah akan terjun ke krisis, itu yang kita coba gali.”
Dilihat dari indikatornya, konsumsi AS masih cukup kuat, solid. Penjualan ritel tumbuh tinggi, walau beberapa bulan terakhir melambat.
Tingkat konsumsi yang cukup bagus itu lantaran tingkat pengangguran masih rendah di angka 3,75%. Upah juga naik, belakangan indikator upahnya stabil di 3%. Jadi ekonomi AS ditopang oleh dasar yang cukup kuat dari employment.
Adapun di sisi suplai juga kuat, walau beberapa bulan terakhir ekspor turun. Penurunan ini karena permintaan eksternal turun, sebagai dampak dari ekonomi global yang melambat.
Maka impor juga turun. “Mungkin ini dampak dari trade war. Akibat kenaikan tarif impor mulai dari 10% dan Juni naik jadi 25%. Ekonomi diduga akan turun,” kata Nunu.
Bank Sentral AS, Federal Reserve, melihat ekonomi AS tidak sekuat dulu. Jerome Powell, Gubernur The Fed, bilang ekonomi moderate, padahal sebelumnya bold, solid. Outlook ekonomi berubah, tadinya 2019-2020 naik, sekarang turun.
Maka pasar melihat ini indikasi The Fed akan memangkas suku bunga. “Masalahnya tinggal berapa kali mau cut,” ujar Nunu.
Menurut Nunu, Powell tak ingin telat mengambil kebijakan. Kalau ekonomi sudah telanjur krisis jelas susah mengubahnya. “Pasar melihat Powell akan cut rate sekali sampai tiga kali, 25 bps sampai 75 bps,” ucapnya.
“Ini bisa disebut sebagai insurance cut, untuk jaga-jaga supaya ekonominya tidak krisis,” lanjut Nunu.
Nunu sendiri melihat, inflasi AS belum jauh dari targetnya, sehingga ia menduga The Fed akan memotong bunga sekali sampai dua kali mulai September nanti.
Saat ini inflasi AS 1,8%. Sedangkan targetnya 2% dengan membolehkan deviasi simetris atas bawah, cuma tidak eksplisit berapa range-nya. Yang jelas, turunnya inflasi ini menjadi indikasi daya beli mulai turun.
Ketidakpastian tinggi
Sebagaimana kita ketahui, Presiden Trump secara signifikan mendorong pertumbuhan dengan memberikan stimulus fiskal. Maklum, target Trump ingin maju lagi di Pilpres 2020. Ini karena beberapa janjinya dianggap gagal. Yakni, rencana menggusur Obama Care dan membangun tembok dengan Meksiko.
Nah, cara mendorong pertumbuhan itu dengan strategi trade war yakni dengan cara mengurangi impor. Maka Trump secara selektif melihat dengan negara mana defisit perdagangannya besar. Tarif itu salah satu senjatanya. Dia minta defisit dikurangi sampai US$ 200 miliar, karena ingin AS tetap superior.
Setelah perang dagang, pembicaraan di Washington DC gagal, maka tarif 10% naik jadi 25%. Sekarang AS dan China akan membicarakan lagi masalah perdagangan di Osaka, 28 Juni-29 Juni ini sebagai bargaining Trump untuk memenangkan deal di perang dagang ini.
Dari sisi Trump, yang bisa kita ketahui dari Twitter-nya, merasa di atas angin. Dia akan mengenakan tarif 25% untuk transaksi lain yang belum terkena tarif tinggi.
Tapi sebaliknya China tidak mau disetir oleh AS. Maklum, China sudah mencapai ranking nomor satu dari sisi purchasing power parity (PPP). “Dia juga punya target pertumbuhan tinggi, tapi dengan cara tampil lebih kalem, diam, tidak mau konfrontasi, sehingga bisa berharap dunia melihat siapa bad guy-nya. Itu strategi yang dia terapkan,” ujar Nunu.
“Karena Trump akan habis-habisan untuk maju 2020, sementara China menahan diri, dugaan kami pembicaraan deadlock lagi. Maka ke depan tendensi trade war tinggi, deal dengan China gagal dicapai. Ketidakpastian tinggi,” lanjut Nunu.
Selanjutnya, Trump melihat kemungkinan lain lagi. India sudah kena dampaknya dengan pencabutan fasilitas perdagangan generalized system of preferences (GSP). Lantas dia lihat yang lain yang defisit perdagangannya tinggi. “Nah, Indonesia bisa kena juga, karena neraca dagang kita surplus dengan AS,” ungkap Nunu.
Trump juga mengincar Eropa. Mata uang euro dalam tren melemah terhadap dollar AS. Ini dilihat Trump sebagai biang currency war yang merugikan AS. “Bisa jadi trade war meluas kemana-mana. Apalagi tarif otomotif belum dia kenakan. Ini yang kena Eropa dan Meksiko. Uncertainty tinggi,” katanya.
bagaimanapun Indonesia harus berupaya untuk terhindar dari pencabutan fasilitas GSP dan di sisi lain harus bisa memanfaatkan peluang dari perang dagang ini. “Dari ceruk pasar yang ditinggalkan, Dubes RI Mahendra Siregar melihat produk apa saja yang kena tarif dan adakah produk kita yang jadi unggulan di situ,” kata Nunu.
Saat ini tampak ada 17 komoditas yang bisa memanfaatkan kondisi pasar kalau barang China tidak bisa masuk. Antara lain, pakaian jadi rajutan dan nonrajutan, karet, furnitur, kayu, permesinan, perhiasan, mainan anak, peralatan listrik, juga suku cadang mobil.
Hanya memang, China bisa melakukan langkah-langkah juga. Seperti, transshipment, menurunkan lagi mata uangnya, memberikan subsidi ekspor. Atau juga menyubsidi konsumsi supaya bisa menyerap produk-produk tersebut.
Selain itu, banyak negara lain juga memperebutkan ceruk pasar yang lowong itu. Pesaing berat kita di tekstil ada Vietnam dan Bangladesh. “Untuk itu kita harus meningkatkan kualitas produk kita supaya lebih kompetitif,” tandas Nunu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News