Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga pemeringkat internasional Moody's Investors Service memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2019-2020 berpotensi turun ke bawah 5%. Salah satu alasannya, belanja pemerintah dianggap akan melambat di tengah berkurangnya pembangunan infrastruktur dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memaklumi asumsi Moody's tersebut.
"Investor mungkin melihat inkonsistensi, di mana belanja pemerintah beralih dari yang produktif menjadi lebih populis di akhir periode ini," ujar Bhima, Kamis (14/2).
Berkurangnya alokasi belanja modal yang bersifat produktif dikhawatirkan bakal membuat pertumbuhan investasi makin lesu dan kinerja ekspor semakin memburuk.
Namun, di sisi lain, Bhima tak menyalahkan kebijakan belanja tersebut. Terlepas dari asumsi belanja populis di tahun politik, Bhima menilai pemerintah juga berupaya menjaga laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Selain itu, Bhima juga menyoroti pendapat Moody's mengenai melambatnya pembangunan infrastruktur yang akan menahan laju pertumbuhan ekonomi.
Meski anggaran infrastruktur masih lebih tinggi dari tahun sebelumnya yaitu Rp 415 triliun, kenyataannya pertumbuhan anggaran jauh melambat menjadi hanya 1,1%.
Kendati begitu, langkah pemerintah mengerem infrastruktur juga perlu ditinjau lebih dalam, salah satunya untuk mencegah pelebaran defisit transaksi berjalan (CAD).
"Seperti yang diketahui, selama ini ada korelasi positif antara pembangunan infrastruktur dengan bertambahnya CAD karena besarnya impor bahan baku dan barang modal," kata Bhima. Lantas, pembangunan infrastruktur tak bisa dipacu sekencang tahun-tahun sebelumnya.
Di samping itu, perlu disadari bahwa dampak multiplier effect dari pembangunan infrastruktur beberapa tahun terakhir tidak terlihat, misalnya pada geliat industri besi dan baja atau penyerapan semen domestik, contoh Bhima.
Hal ini menurutnya, bisa jadi turut menjadi pertimbangan pemerintah memilih untuk mengalihkan belanja pada yang bersifat konsumtif di akhir periode ini.
Selain memperbaiki CAD, Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih berpendapat, perlambatan pembangunan infrastruktur juga terkait dengan posisi utang pemerintah yang sudah sangat besar, terutama utang BUMN karya yang terlibat dalam proyek.
"Rasional kalau pemerintah melambatkan infrastruktur dengan kondisi utang saat ini. Yang penting pembangunan infrastruktur dasar sudah terpenuhi seperti konektivitas Trans Jawa, Tran Sumatera, bandara, dan infrastruktur lain yang sudah diuber tahun-tahun kemarin," kata Lana, Kamis (14/2).
Lana juga cenderung memaklumi langkah pemerintah menambah pagu belanja yang bersifat konsumtif baik dalam bentuk bantuan sosial maupun subsidi. Sebab, bantuan sosial menurutnya cukup mampu menopang pengeluaran rumah tangga yang selama ini menjadi kekuatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Seperti yang diketahui, sepanjang tahun lalu, konsumsi rumah tangga mencapai 56,01% dalam struktur PDB Indonesia dengan pertumbuhan 5,08%. Jika hendak mencapai target pertumbuhan hingga 5,3%, konsumsi rumah tangga tak boleh sampai melemah bahkan harus dipicu lagi mengingat pertumbuhan dan kontribusi ekspor belum dapat diandalkan sejauh ini.
Lana menyebut, prediksi Moody's terhadap pertumbuhan Indonesia di bawah 5% terlalu pesimistis. Ia sendiri memproyeksi, pertumbuhan ekonomi masih dapat mencapai 5,2%, terutama jika rata-rata pertumbuhan di semester pertama bisa mencapai 5,2%.
"Kalaupun semester pertama tidak sampai 5,2%, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2019 mestinya masih bisa bergerak di kisaran 5,1% - 5,15%," pungkasnya.
Sementara itu, Bhima memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini berpotensi melambat dan mentok di 5%. Pasalnya, tren pertumbuhan ekonomi global yang melambat akan turut mempengaruhi permintaan terhadap komoditas, terutama dari China.
"Efek dari perang dagang juga masih konsisten terhadap ekspor, terutama komoditas batubara dan sawit," kata Bhima.
Belum lagi persoalan defisit transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah yang rentan terhadap sentimen negatif global.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News