Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Perekonomian yang belum stabil sepertinya masih akan menjadi persoalan Indonesia di tahun depan. Berbagai tekanan yang terus berlanjut seperti tekanan tapering off Amerika serikat (AS) dan current account defisit (CAD) atawa defisit transaksi berjalan yang masih tinggi menjadi bayang-bayang laju ekonomi di 2014.
Standard Chartered melihat perekonomian Indonesia di tahun depan masih menghadapi ketidakpastian. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan terbang tinggi lagi menuju level 12.500 pada paruh pertama 2014.
Pelemahan mata uang Garuda ini diakibatkan tiga hal, yaitu tapering off AS, pemilihan umum (pemilu) 2014, dan defisit transaksi berjalan.
Ekonom Standard Chartered Fauzi Ichsan mengatakan, rupiah baru akan membaik di paruh kedua 2014 ketika pemerintahan baru terbentuk dan setelah kenaikan suku bunga benar terasa di sektor riil. Maka, "Rupiah baru akan mulai menguat ke arah 11.400 di triwulan terakhir 2014," ujar Fauzi, Selasa (3/12).
Mengenai defisit transaksi berjalan pun diperkirakan Standard Chartered di tahun depan akan berkisar 3,3% dari PDB atau sebesar US$ 28,9 miliar. Penurunan defisitnya belum akan signifikan di tahun depan karena perbaikan ekonomi global belum tinggi.
Menurut Fauzi, ekonomi global tahun depan akan berada di 3,3% atau naik dari perkiraan 2013 sebesar 2,6%. Indonesia sendiri diperkirakan pertumbuhannya sebesar 5,8%. Perbaikan ini tidak akan banyak meningkatkan ekspor dalam negeri.
Pasalnya, 60% dari total ekspor Indonesia adalah komoditas dan di tahun depan harga komoditas dunia tidak akan naik banyak. Maka dari itu, defisit masih akan besar di 2014.
BI rate kembali naik
Untuk menyiasati ini, dijelaskan Fauzi, jalan yang bisa ditempuh pemerintah ataupun Bank Indonesia (BI) adalah dari sisi impor. Pemerintah tidak akan optimal operasionalnya di tahun depan karena ada proses pemilu.
Dengan adanya pemilu, kebijakan-kebijakan strategis untuk menekan impor seperti menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) ataupun penghentian proyek-proyek strategis seperti yang dilakukan pada tahun 1997 kemarin praktis sulit diambil.
Kebijakan moneter dari sisi BI lah yang akan berjalan. Di sini, Fauzi melihat akan ada kenaikan BI rate lagi sebesar 75 bps menjadi 8,25%. "Kenaikan ini juga menghitung adanya tapering off yang menurut saya akan mulai terjadi pada Juni 2014," tandasnya.
Kenaikan BI rate ini, menurut Fauzi, menjadi instrumen yang ampuh untuk menurunkan laju impor. Pertumbuhan ekonomi yang melambat dengan adanya kenaikan ini memang seharusnya terjadi dalam rangka penurunan impor.
Di lain pihak, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi melihat perekonomian di tahun depan masih belum memberikan sinyal positif. Akan bertambah buruk perekonomiannya apabila kebijakan
yang diambil BI dengan menaikkan BI rate kembali terjadi.
Untuk sekarang pun, dampak kenaikan BI rate sudah mulai terasa di sektor ritel. "Pengusaha ritel yang ada di Apindo sudah pada mengeluh penurunan penjualan," papar Apindo.
Karena itu, menurut Sofjan, rupiah di 2014 masih akan bergerak di kisaran 11.500-12.500. Pertumbuhan ekonomi tahun depan pun hanya berkisar antara 5%-5,5%.
Maka dari itu, pengusaha meminta kepada pemerintah agar cepat memberikan sinyal positif. Dalam hal ini, revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) perlu dipercepat dan subsidi BBM perlu dikurangi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News