Reporter: Anna Suci Perwitasari | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Necara perdagangan kembali mengalami surplus. Namun, masalah lain yang perlu diperhatikan adalah neraca modal. Hal ini mengingat inflow pada portofolio, khususnya saham dan obligasi sudah mulai melambat.
Terlebih inflow yang masuk bulan November lalu sangat kecil. Artinya, neraca modal tinggal bergantung pada investasi asing atawa foreign direct investment (FDI). Sayangnya, secara historikal FDI di kuartal IV tidak sebaik kuartal sebelumnya.
Sayangnya, kondisi nilai tukar rupiah saat ini masih bergerak secara fluktuatif. "Walaupun keuntungan investasi di Indonesia tinggi, tapi kalau nilai tukar rupiah fluktuatif ya sama saja," jelas Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti di Jakarta, Senin (2/12).
Itu yang menyebabkan defisit neraca berjalan kuartal IV belum berada dibawah 3,5%.
Ekonom CIMB Niaga Winang Budoyo malah memprediksi defisit transaksi berjalan masih akan terjadi hingga enam kuartal kedepan.
Alasannya, kinerja pemerintah dalam melaksanakan kebijakan hingga saat ini belum maksimal. Berbeda dengan Bank Indonesia yang sudah maksimal melakukan pengetatan dalam sektor moneter.
Karena itu, Destry menyarankan agar ada mandatory kebijakan biofuel ditingkatkan dari hanya 10% menjadi 30%. Alasannya, agar makin rendahnya impor migas, lagipula industri CPO besar sudah memiliki pabrik pengolahan biofuel.
"Dan, kebijakan untuk perusahaan BUMN seperti PLN mengganti penggunaan BBM menjadi biofuel," tegasnya.
Sementara ekonom BII Maybank Umar Juoro menyebut kebijakan pemerintah yang tahun depan mulai melarang ekspor mineral bisa jadi bumerang karena akan menurunkan nilai ekspor secara signifikan.
"Harusnya dilakukan bertahap. Karena banyak yang belum siap," tambahnya.
Saat ini hanya industri nikel saja yang sudah siap dengan pengelolaan di smelter. Sedangkan tambang batubara dan lainnya masih minim implementasi pembangunan smelter.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News