Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak awal tahun, pemerintah gencar melakukan penerbitan maupun pelelangan Surat Berharga Negara (SBN) sebagai bekal pembiayaan defisit anggaran di tahun 2019. Strategi yang disebut dengan frontloading tersebut dilakukan di tengah derasnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan dalam negeri sejak akhir tahun lalu.
Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail mengatakan, pemerintah telah melancarkan strategi frontloading dalam kurun dua hingga tiga tahun terakhir. "Biasanya karena pemerintah melihat kondisi pasar jauh lebih kondusif di awal tahun," ujarnya saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (3/2).
Membaiknya kondisi pasar, salah satunya, dapat terlihat dari besarnya arus masuk modal asing (capital inflow) ke dalam pasar keuangan domestik. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo sebelumnya mengungkapkan, total dana asing yang masuk per 24 Januari lalu telah mencapai Rp 19,2 triliun, baik ke dalam instrumen obligasi pemerintah, saham, maupun obligasi korporasi.
"Banyaknya inflow ke pasar obligasi membuat harga meningkat dan sebaliknya, yield berangsur turun dari posisinya di akhir kuartal-IV kemarin yang sempat sangat tinggi," terang Mikail.
Saat ini, yield obligasi pemerintah bertenor 10 tahun yang menjadi acuan berada pada sekitar level 8,1%. Posisi ini sudah lebih rendah ketimbang akhir tahun lalu di mana yield sempat berada pada kisaran 8,4% - 8,5%.
Momentum positif inilah, yang menurut Mikail, menjadi alasan pemerintah gencar menerbitkan SBN. Sebab, ia memprediksi, ketenangan pasar saat ini tak akan langgeng lama, paling tidak hanya hingga Maret mendatang.
Setelah Maret, pasar akan kembali menghadapi ketidakpastian baru yakni berlanjut atau tidaknya ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Selain itu, masih ada pula sumber ketidakpastian lainnya seperti kenaikan suku bunga acuan AS yang meski dipastikan tak agresif, tapi tetap akan berdampak pada aliran modal asing ke emerging market.
"Pemerintah mungkin memilih tidak gambling dan memastikan ketersediaan dana untuk pembiayaan," imbuh Mikail.
Ia juga memperkirakan, posisi yield obligasi pemerintah masih bisa menurun. Di kuartal pertama ini, Mikail melihat yield SUN 10 tahun akan kembali turun ke bawah level 8% secara berangsur.
Senada, Ekonom Senior Chatib Basri juga memprediksi posisi yield SUN akan kembali turun secara gradual. Hal ini seiring dengan kondisi yield US Treasury yang juga dalam tren yang lebih stabil, cenderung menurun pula.
"Kalau lihat sekarang bond yield AS tenor 10 tahun itu sudah di 2,7%. Jadi, mestinya yield bond Indonesia bisa di 7,7%," ujar Chatib, Rabu (30/1) lalu.
Chatib menilai, keputusan pemerintah untuk gencar melakukan frontloading sudah terbilang tepat. Sebab, strategi tersebut bukan hanya sekadar menimbang kondisi tren yield obligasi semata. "Frontloading tentu dibutuhkan bukan hanya melihat dari bond yield saja, tapi kan pembiayaan perlu ada," ujarnya.
Ia pun optimistis, kondisi pasar obligasi di tahun ini akan jauh lebih baik. Yield obligasi pun bisa makin rendah begitu capital inflow terjadi. Hanya saja, investor perlu waktu untuk menyesuaikan ekspektasi imbal hasilnya terhadap instrumen di pasar keuangan Indonesia di tengah potensi risiko dan ketidakpastian perekonomian global yang masih ada di tahun ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News