Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam menggelontorkan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun kepada bank pelat merah terus menjadi sorotan.
Kendati dimaksudkan untuk mempercepat pemulihan ekonomi melalui penyaluran kredit, sejumlah ekonom justru memberikan peringatan, karena langkah ini dinilai menyimpan risiko besar jika tidak dikelola dengan hati-hati.
Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, kebijakan tersebut tidak serta-merta akan mendorong produksi dan pemulihan ekonomi, karena permasalahan utama saat ini bukan pada sisi suplai, melainkan permintaan.
"Kita tahu bahwa BI telah menurunkan suku bunga acuan dari sekitar 6% di akhir tahun 2024 menjadi 5%. Namun pertumbuhan kredit terus menurun, bahkan hanya sekitar 6% saja. Artinya memang meskipun diturunkan, permintaan masih cukup rendah. Jadi masalahnya ada di sisi demand-nya dibandingkan dengan supply," ungkap Huda kepada kontan.co.id, Selasa (16/9).
Baca Juga: Menkeu Purbaya Pertanyakan Alasan DPR Kembali Revisi UU P2SK
Menurut Huda, jika dana tersebut sudah diguyur namun sulit menyalurkan, maka akan jadi dana mengendap dan kinerja perbankan akan memburuk. loan to deposit ratio (LDR) akan mengecil membuat kinerja perusahaan akan memburuk secara laporan.
"Maka bagi perbankan, akan lebih mudah ditempatkan ke investasi," katanya.
Selain itu kata Huda, ketika guyuran uang ini tidak terserap dengan baik, maka bisa terjadi inflasi.
"Ketika perputaran ekonomi masih lambat, namun guyuran uang dilakukan, maka yang terjadi bukan ke ekonomi, tapi inflasi. Dan ketika permintaan kredit dari dunia usaha sedikit, bagi perbankan akan lebih mudah menyalurkan ke sektor multiguna (termasuk konsumsi)," jelas Huda.
Menurutnya, uang di masyarakat naik, tapi produksinya masih melambat maka akan terjadi demand lebih tinggi dibandingkan supply, yang terjadi adalah kenaikan harga barang.
"Ini yang berbahaya ketika perencanaan guyur uang ini tidak matang," ucapnya.
Senada, Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta menilai, langkah ini bisa menjadi bumerang jika tidak disertai desain kebijakan yang matang.
Menurut Achmad, langkah ini bisa cepat menambah amunisi likuiditas Himbara, memperkuat kemampuan menyalurkan kredit ke segmen prioritas seperti UMKM koperasi, perumahan rakyat, dan padat karya.
"Larangan menggunakan dana untuk membeli SBN menegaskan niat agar dana benar-benar mengalir ke sektor riil. Jika dieksekusi baik, efek gandanya menyentuh produksi, serapan kerja, dan konsumsi rumah tangga," terangnya.
Namun demikian, struktur tenornya dinilai memupuk mismatch. Bank bisa memilih menyalurkan kredit yang pendek-pendek atau revolving agar mudah diputar kembali ketika pendanaan jatuh tempo, bukan kredit panjang yang menjadi prioritas sosial.
Selain itu, bila persepsi risiko belum membaik, sebagian likuiditas juga bisa “bocor” kembali ke aset aman melalui kanal lain yang tidak dibatasi, sehingga daya gedornya ke sektor riil mengecil.
Baca Juga: Purbaya Optimistis Suntikan Rp 200 Triliun ke Perbankan Turunkan Bunga Pinjaman
"Hasil akhirnya, penurunan bunga kredit tertahan dan ekspansi kredit tak setajam harapan," katanya.
Lebih lanjut Achmad mengatakan, secara manajemen aset-liabilitas, menutup kredit panjang dengan dana yang bisa ditarik dalam hitungan bulan adalah resep klasik mismatch.
Bank tentu akan menahan diri menurunkan suku bunga kredit karena mereka membutuhkan bantalan margin untuk mengantisipasi risiko pendanaan ulang dan volatilitas suku bunga.
"Inilah sebabnya, walau biaya dana turun di tepi, suku bunga kredit tidak serta-merta ikut turun—apalagi untuk tenor panjang. Suntikan tersebut belum tentu membuat demand kredit naik dan suku bunga turun. Jika tujuan kita mendorong kredit panjang tanpa mengorbankan stabilitas, desain pendanaan harus selaras tenor dan berbagi risiko," tutur Achmad.
Menurutnya, ekspektasi publik adalah separuh cerita. Pemerintah dinilai perlu menyajikan pipeline proyek bankable per sektor, service level agreement proses kredit, dan dashboard kinerja bulanan—berapa kredit baru, ke sektor apa, berapa tenaga kerja tercipta, dan berapa NPL-nya.
Tanpa pendanaan jangka panjang yang term-matched, risk-sharing yang jelas, dan ekspektasi yang diperbaiki lewat transparansi kinerja, likuiditas berlimpah dinilai tetap bisa mengendap di tepi.
"Tetapi bila arsitektur pendanaannya diperbaiki dan narasi kebijakan konsisten, bank akan berani menurunkan bunga bertahap, kredit mengalir ke sektor prioritas, dan ekonomi mendapat dorongan yang nyata," imbuhnya.
Sementara, Mantan Presiden Direktur BII dan Direktur Utama BNI, Sigit Pramono, meminta Menkeu Purbaya untuk lebih hati-hati dalam membuat kebijakan demi mengejar pertumbuhan ekonomi 8%.
“Apa yang hendak dilakukan Menkeu Purbaya, kalau nggak hati-hati, hanya sekadar mengotak-atik sisi moneter, jelas tidak akan menyelesaikan masalah,” ujarnya.
Kebijakan menempatkan dana pemerintah di perbankan, menurut Sigit, sudah dicoba dilakukan oleh empat orang pemegang kewenangan di Komite Stablitas Sistem Keuangan (KSSK).
“Anggotanya Menkeu Sri Mulyani Indrawati ( merangkap sebagai Ketua Komite), Gubernur BI Perry Warjiyo, Ketua OJK Mahendra Siregar dan Purbaya sendiri selaku Ketua LPS. Tetapi upaya itu tidak juga berhasil,” ungkapnya.
Karena kata Sigit persoalan negeri ini bukan hanya di sektor keuangan tetapi lebih banyak di sektor riil , yaitu di dunia usaha.
"Jadi semua menteri yang terkait sektor riil harus bekerja keras juga membantu memperbaiki iklim investasi dan bisnis," ucap Sigit.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Pastikan Dana Rp 200 Triliun di Perbankan Tidak Akan Ditarik
Selanjutnya: Simak Modus Investasi Return Tinggi Makin Marak Penipu Incar Masyarakat
Menarik Dibaca: Simak Modus Investasi Return Tinggi Makin Marak Penipu Incar Masyarakat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News