Reporter: Bidara Pink | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memberlakukan kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya per 28 April 2022. Kebijakan tersebut bertahan kurang lebih selama satu bulan.
Kebijakan yang diambil untuk menjaga pasokan minyak goreng dalam negeri dan juga menjaga harga, Ekonom MNC Sekuritas Tirta Widi Gilang Citradi melihat, larangan tersebut merupakan kebijakan yang kontraproduktif.
Pasalnya, kebijakan ini berpotensi menyebabkan penurunan nilai dan volume ekspor yang tidak perlu. Hal tersebut akhirnya menggerus potensi devisa Indonesia sekitar US$ 1,8 miliar hingga US$ 2,2 miliar.
“Mengingat, CPO dan produk turunannya (HS 1511) menyumbang lebih dari 80% ekspor lemak dan minyak hewan nabati,” ujar Tirta kepada Kontan.co.id, Senin (30/5).
Baca Juga: Subsidi Minyak Goreng Dicabut Besok, Selasa (31/5), Ekonom Khawatir Harga Naik
Adapun, CPO dan produk turunannya menyumbang sekitar 11,52% dari total ekspor Indonesia tahun 2021. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun lalu, Indonesia mengekspor sekitar 25,5 juta ton CPO dan turunannya dengan nilai US$ 26,67 miliar atau rata-rata 2,13 juta ton senilai US$ 2,22 miliar per bulan.
Kini, per 23 Mei 2022, pemerintah sudah kembali membuka keran ekspor CPO dan turunannya. Tirta mengapresiasi hal itu. Pasalnya, dengan ekspor CPO dan turunannya yang kembali berjalan, maka devisa yang didapat oleh Indonesia berpotensi kembali sesuai jalur.
Ini kemudian bermuara pada terjaganya keseimbangan eksternal. Selain itu, kebijakan ini juga membawa angin segar bagi prospek pendapatan Indonesia, baik itu dari perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News