Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akibat pandemi Covid-19, Indonesia mengalami resesi yang salah satunya disebabkan lemahnya arus modal dan menyebabkan meningkatnya angka pengangguran. Aliran modal masuk asing (capital inflow) dapat terjadi dalam bentuk investasi langsung (foreign direct investment) dan investasi portofolio.
Hadirnya UU Cipta Kerja, kata ekonom UIN Syarif Hidayatullah Jakarta M. Ridwansyah, untuk memperbaiki regulasi dan birokrasi karena selama ini menghambat investasi dan juga penciptaan lapangan kerja.
“Yang paling harus dibenahi adalah regulasi dan institusi. Omnibus Law ini mengharmonisasi sekitar 74 Undang-Undang, sehingga faktor regulasi dan koordinasi bisa diperbaiki dengan harapan bisa menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak dan menghasilkan investasi yang lebih tinggi,” katanya dalam seminar daring bertajuk UU Cipta Kerja dan Dampak Resesi terhadap Perekonomian saat Ini dan Proyeksi Perekonomian 2021 yang digelar Prodi Ekonomi Pembangunan FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Baca Juga: Serap aspirasi aturan turunan UU Cipta Kerja, pemerintah siapkan tim Independen
Lebih jauh Ridwansyah menerangkan, dihadirkannya UU Cipta Kerja karena pemerintah memiliki target peningkatan investasi hingga 6,6-7% dan target penciptaan lapangan kerja yang bisa menyerap 2,7 hinga 3 juta per tahun. “Ini karena setiap tahun ada tambahan angkatan kerja baru sekitar 2,5 juta orang,” kata Ridwansyah
Ridwansyah melanjutkan, resesi yang disebabkan oleh pandemi saat ini meningkatkan jumlah angka pengangguran hampir di seluruh negara di dunia. Bahkan negara sehebat Amerika Serikat dan China pun mengalami peningkatan angka pengangguran. Tak terkecuali Indonesia.
“Sebelum wabah ada 6,8 juta pengangguran. Menurut data yang kami dapat dari Kemenaker, akibat wabah ada tambahan 3,5 juta pengangguran baru. Estimasi sekarang ada 9,7 juta pengangguran di Indonesia,” kata Senior Technical Advisor World Bank Program ini.
Menurut Ridwansyah, World Bank meyakini bahwa UU Cipta Kerja adalah wujud reformasi struktural yang bisa menghadirkan sentimen positif bagi para investor terhadap Indonesia.
“Dari awal World Bank meyakini bahwa ini (UU Cipta Kerja) salah satu bentuk dari reformasi struktural yang memungkinan Indonesia kedepan akan membuat investor lebih tertarik,” ungkap Ridwansyah.
Untuk lebih menguatkan argumennya, Ridwansyah menunjukkan data meningkatnya sentimen positif para investor setelah disahkannya UU Cipta Kerja oleh DPR RI pada 6 Oktober lalu.
“Indeks Harga Saham gabungan (IHSG) ditutup naik 40,45%, 45 saham unggulan (LQ45) naik 9,08 poin. Jadi, ini bentuk sentimen positif para investor dan dunia usaha terkait disahkannya UU Cipta Kerja,” beber Ridwansyah.
Baca Juga: Kepala BKPM dapat komitmen investasi bernilai jumbo dari produsen susu
Sentimen positif itu, lanjut Ridwansyah, berlangsung hingga pertengahan November. Nilai tukar rupiah relatif membaik atau makin menguat. Untuk itu, World Bank memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal 1 2021 akan bergerak menjadi positif, menjadi 2% dan inflasi relatif stabil.
“Proyeksi optimis itu dengan syarat implementasi UU Cipta Kerja melalui PP benar-benar disusun dengan baik. Kemudian, penanganan Covid-19 melalui vaksin karena sumber resesi yang paling berbahaya adalah uncertainty (ketidakpastian). Syarat lainnya adalah stabilitas politik, ” kata Ridwansyah.
Ridwansyah optimistis, jika syarat itu terpenuhi maka pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin meningkat di tahun 2012. “World Bank memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 3,4-4,4%, Bank Indonesia memproyeksikan 5% pada 2021,” pungkas Ridwansyah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News