Reporter: Siti Masitoh | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tingkat inflasi yang tinggi disusul oleh kebijakan suku bunga Bank Indoensia (BI) yang agresif naik hingga 50 basis poin diperkirakan akan makin menggerus daya beli masyarakat. Bahkan, kemampuan masyarakat untuk membayar kredit rumah dan kendaraanpun mejadi makin sulit.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut, dampak naiknya suku bunga acuan BI akan mempengaruhi konsumsi rumah tangga dengan pelemahan pertumbuhan sebesar 0,5% sampai dengan 0,75% pada tahun ini dibanding skenario tanpa naiknya bunga acuan.
Baca Juga: Suku Bunga BI Naik, Kredit Konsumsi Berpotensi Turun
“Pertumbuhan ekonomi juga berisiko alami tekanan bersumber dari gangguan pada realisasi investasi karena naiknya cost of fund dan tekanan pada konsumsi kelas menengah,” tutur Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (25/9).
Sehingga melihat situasi tersebut Ia menyarankan agar pemerintah agar menaikkan anggaran ataupun kebijakan tarif yang sudah ada saat ini.
Di antaranya, menaikan bantuan subsidi uang muka perumahan dan juga menaikan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi Rp 40 triliun hingga 50 triliun dari anggaran saat ini yang sebesar Rp 21,5 triliun.
“Bantuan FLPP ini akan sangat bantu masyarakat berpenghasilan rendah membeli rumah ditengah naiknya bunga acuan,”
Selain itu, Ia juga menyarankan agar pemerintah menurunkan tarif bunga Kredit Usaha Rakyat hingga 2%. Menurutnya tarif yang saat ini sebesar 5% sangat memberatkan. Terlebih untuk kalangan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Kemudian, untuk tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga disarankan turun menjadi 8% dari yang saat ini sebesar 11%. Penurunan tarif PPN ini lanjutnya akan membantu meringankan beban mulai dari masyarakat kelas bawah miskin dan rentan hingga masyarakat kelas kenengah.
Baca Juga: Sudah Ada Kepastian Suku Bunga Acuan, IHSG Diprediksi Menguat Senin (26/9)
“Karena kebijakan tarif PPN menyasar ke semua masyarakat. PPN juga bisa mengurangi harga konsumen dan bisa mengurangi dampak inflasi,” kata Bhima.
Adapun Bhima menilai, pemberian sejumlah bantuan dan insnetif yang akan diberikan tahun depan harus dipertimbangkan dengan baik. Utamanya harus memprioritaskan target sasaran yang lebih segmented mengingat kebutuhan fiskal saat ini terbatas.
Misalnya saja pada sektor-sektor usaha yang mengalami tekanan pada daya belinya seperti di sektor ritel, makanan dan minuman, elektronik, hingga properti. Pun bantuan untuk sektor UMKM dan padat karya.
Lebih lenjut, Ia juga menyarankan agar bantuan subsidi upah (BSU) lebih di perluas lagi dan tidak hanya menyasar pada kelompok kerja formal saja, dan target sasarannya diperlebar hingga penenrima gaji di bawah Rp 5 juta.
Bhima juga menilai pemberian BSU saat ini dinilai tidak cukup. Contoh kecil bantuan BSU teranyar yang diberikan pemerintah sebagai bantalan atas kenaikan harga BBM sebesar Rp 600.000 untuk 4 bulan.
Baca Juga: Kenaikan Bunga The Fed dan Resiko Resesi Semakin Memukul Pasar Saham dan Obligasi
Hasil perhitungannya, idealnya BSU diberikan sebesar Rp 1.000.000 per bulan kepada satu penerima, jika pemeirntah ingin memberikan bantuan kepada masyarakat kelas menengah agar daya beli mereka tetap terjaga.
“Selain itu pekerja informal juga banyak belum dapet BSU. karena dia bukan pekerja upahan atau dibayar per bulan. dia upahnya per hari. seperti buruh bangunan dia nggak punya BPJS ketenagakerjaan mereka harus dimasukan kedalam target penerima BSU,” kata Dia menyarankan.
Lebih lanjut, Bhima juga menyarankan agar defisit anggaran tahun depan diperlebar lagi untuk menjaga stimulus ekonomi melalui perlindungan sosial dan bantuan UMKM. Akan tetapi dengan catatan bukan diperlebar untuk belanja mega proyek dan beban birokrasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News