kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.455.000   12.000   0,83%
  • USD/IDR 15.155   87,00   0,57%
  • IDX 7.743   -162,39   -2,05%
  • KOMPAS100 1.193   -15,01   -1,24%
  • LQ45 973   -6,48   -0,66%
  • ISSI 227   -2,76   -1,20%
  • IDX30 497   -3,22   -0,64%
  • IDXHIDIV20 600   -2,04   -0,34%
  • IDX80 136   -0,80   -0,58%
  • IDXV30 141   0,18   0,13%
  • IDXQ30 166   -0,60   -0,36%

Ekonom: BI perlu pikirkan pengawasan utang swasta


Minggu, 21 September 2014 / 15:34 WIB
Ekonom: BI perlu pikirkan pengawasan utang swasta
ILUSTRASI. Kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pada Februari 2023 telah mencapai 701,93 ribu. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/rwa.


Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Bank Indonesia (BI) terus menggodok aturan peningkatan risiko kehati-hatian korporasi dalam melakukan pinjaman luar negeri. Salah satu opsi pilihan yang saat ini dikaji BI adalah maksimum 70% utang dalam bentuk valuta asing (valas) bila dibanding aset dalam bentuk valas.

Lebih dari batas itu maka harus dilakukan lindung nilai atawa hedging. Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih berpendapat, porsi utang valas 70% adalah porsi yang moderat. Kuncinya adalah pada hedging.

Langkah BI yang membuat aturan soal hedging dan memperpanjang tenor hedging adalah langkah yang baik. Aturan tersebut perlu untuk menindaklanjuti upaya pengendalian utang luar negeri swasta.

Menurut Lana, yang perlu dipikirkan oleh BI adalah tentang pengawasan. Siapa yang akan mengawasi korporasi dalam melakukan pinjaman luar negeri. Akan lebih baik apabila BI memberikan sanksi. "Kaitkan sanksinya terkait pajak. Misalnya mereka tidak dapat pengurang pajak. Kalau itu tidak diberi sanksi akan susah mengatur utang," ujar Lana ketika dihubungi KONTAN, Jumat (19/8).

Kalau perusahaan pelat merah alias Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ada pemerintah yaitu Kementerian BUMN yang mengawasi. Sedangkan perusahaan non BUMN tidak ada yang mengawasi. Maka dari itu, perlu dibuat sanksi agar lebih mudah implementasinya dan diikuti oleh swasta.

Di sisi lain, Kepala Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) A. Prasetyantoko menilai, perlu ada pengecualian rasio untuk korporasi yang utang luar negerinya terlalu besar. Rasio atau persentasenya perlu dibuat lebih tinggi dari 70%.

Senada dengan Lana, menurut Prasetyantoko, yang perlu diperhatikan adalah pengawasannya. Sebagai langkah awal, BI bisa meminta korporasi untuk melaporkan utang luar negerinya berbasis dokumen.

Namun apabila tidak ada pengaruhnya dan tetap saja swasta gencar berutang maka perlu ada kebijakan lebih ketat. "Harus ditindaklanjuti dengan hukuman," pungkasnya.

Yang terpenting pula , BI harus lakukan sosialisasi kepada korporasi mengenai aturan ini. BI harus mengupayakan swasta memahami aturan utang dengan baik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×