Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Gejolak pada harga minyak dunia membuat pemerintah harus menghitung kembali subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN 2017). Pasalnya, ada perbedaan antara harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM) dan harga yang ditetapkan oleh pemerintah.
Terkait perbedaan harga, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, sesuai dengan APBN 2017, Pertamina akan menanggung apabila ada perbedaan antara harga keekonomian dan harga yang ditetapkan oleh pemerintah. “(Dalam APBN 2017) yang paling banyak bergerak adalah subsidi. Kami perlu confirm ke Pertamina dari sisi balance sheet-nya sendiri,” kata Sri Mulyani, Senin (19/6) lalu.
Namun, bila melihat keuangan Pertamina, saat ini Pertamina tengah mengalami negative cashflow sebesar US$ 800 juta di kuartal I 2017 karena belum mendapat penyesuaian harga sesuai formula. Selain itu, ada pula piutang dari pemerintah yang belum dibayarkan ke Pertamina sebesar Rp 38 triliun.
“Memang juga ada beban-beban lainnya, seperti kebijakan BBM satu harga, tetapi kami rajin berkomunikasi dengan Kemenkeu,” kata Direktur Pertamina Elia Massa Manik.
Ekonom PT Bank Permata Josua Pardede melihat, meski kas Pertamina tidak sehat, bila membaca strategi pemerintah maka diperkirakan tidak akan ada kenaikan harga BBM pada tahun ini maupun pada tahun depan. Hal ini lantaran pemerintah masih menargetkan inflasi di angka 4% pada tahun ini.
“Tahun ini pemerintah pasti menghitung daya beli masyarakat yang masih lemah sehingga pada akhir tahun BBM akan tidak dinaikkan,” kata dia.
Sementara tahun depan, menurut Josua, kebijakan kenaikan BBM akan berisiko secara politis karena khawatir dianggap tidak prorakyat.
“Agustus 2018 sudah mulai kampanye jadi dari sisi politik kurang populis. Saya pikir pemerintah akan mempertahankan harga jual meski melihat kondisi keuangan Pertamina yang sulit,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News