Reporter: Siti Masitoh | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang dagang, khususnya antara Amerika Serikat (AS) dan China, memberikan dampak signifikan terhadap perdagangan di kawasan ASEAN, termasuk Indonesia.
Merujuk laporan Citigroup Inc yang dikutip dari Bloomberg, nilai ekspor China ke ASEAN pada Mei 2025 mencapai US$ 51,3 miliar, tumbuh 13% secara year on year (yoy). Citigroup Inc menggunakan data dari China General Administration of Customs (GACC) atau Lembaga Bea Cukai China sebagai sumbernya.
Lonjakan terbesar tercatat terjadi di Indonesia. Pada Mei 2025, nilai impor dari China mencapai US$ 6,8 miliar, naik 21,43% secara yoy.
Jika melihat data sebelumnya, sepanjang 2024 China menempati posisi teratas sebagai negara asal impor Indonesia, dengan pangsa sebesar 31,13% atau total senilai US$ 62,88 miliar.
Kepala Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Muhammad Rizal Taufikurahman, menilai bahwa meningkatnya impor dari China di tengah perang dagang merupakan dampak dari regulasi perdagangan domestik yang masih longgar, sehingga Indonesia menjadi sasaran utama peralihan arus impor dari China.
Baca Juga: Impor Indonesia dari China Paling Jumbo, Capai US$ 6,34 Miliar per Januari 2025
“Lonjakan ekspor China ke Indonesia yang mencapai 21,43% yoy itu bukan angka biasa. Ini alarm dini bahwa pasar kita mulai dipenuhi barang-barang murah, mulai dari produk elektronik, tekstil, hingga barang konsumsi lain,” tutur Rizal kepada Kontan, Minggu (15/6).
Menurut Rizal, kondisi ini menempatkan Indonesia dalam situasi dilematis. Di satu sisi, harga murah menguntungkan konsumen, tetapi di sisi lain, hal ini menjadi ancaman serius bagi struktur industri nasional. Jika tren ini terus berlanjut tanpa kebijakan penyeimbang, Indonesia berisiko mengalami deindustrialisasi lebih cepat, terutama di sektor manufaktur ringan.
Ia menegaskan bahwa kebijakan industrialisasi nasional tidak boleh lagi sebatas wacana. Menurutnya, perlu penguatan hambatan non-tarif (NTB), proteksi cerdas melalui penerapan standar produk, peningkatan kandungan lokal, serta insentif nyata bagi upaya substitusi impor.
Lebih jauh, diversifikasi pasar ekspor juga dinilai sebagai langkah penting agar Indonesia tidak semakin terjebak dalam ketergantungan struktural terhadap pasar China.
“Kalau langkah antisipatif tidak diambil, Indonesia bukan hanya akan menjadi pasar barang murah dari luar, tapi lebih parah maka berpotensi kehilangan kesempatan membangun kemandirian ekonomi di era persaingan global yang makin keras,” ungkapnya.
Rizal juga menambahkan bahwa meskipun neraca perdagangan Indonesia dengan China mengalami defisit, ekspor nonmigas ke China tetap menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan negara lain. Sepanjang Januari hingga April 2025, nilainya mencapai US$ 18,87 miliar atau 22,86% dari total ekspor.
Namun demikian, ekspor tersebut mayoritas masih didominasi oleh bahan mentah dan setengah jadi seperti nikel, batu bara, dan kelapa sawit.
Menurutnya, kondisi ini menunjukkan bahwa hubungan dagang Indonesia dengan China bersifat tidak seimbang.
“Misalnya jual bahan mentah, mereka kirim barang jadi. Kalau kita terus terlena dengan angka surplus nominal tanpa memperhatikan kualitas surplusnya, kita sebenarnya sedang menyiapkan jebakan untuk diri sendiri,” jelasnya.
Baca Juga: China Berlakukan Tarif Impor Senilai Lebih dari US$2,6 Miliar terhadap Produk Kanada
Data dari BPS menunjukkan bahwa ekspor nonmigas ke China hingga April 2025 didominasi oleh komoditas besi dan baja (HS 72), bahan bakar mineral (HS 27), serta nikel dan produk turunannya (HS 75).
Untuk jangka pendek, Rizal merekomendasikan agar pemerintah segera mengambil langkah strategis dengan memperkuat kebijakan perlindungan industri dalam negeri melalui instrumen NTB yang cerdas seperti standar kualitas, sertifikasi, dan pengawasan impor yang ketat.
Selain itu, percepatan program substitusi impor serta pemberian insentif bagi industri bernilai tambah tinggi juga dinilai mendesak. Hal ini diperlukan agar struktur ekspor Indonesia tidak terus bergantung pada komoditas mentah.
Dalam jangka menengah, diversifikasi pasar ekspor juga menjadi prioritas, guna mengurangi ketergantungan pada pasar China sekaligus memperluas jangkauan produk Indonesia ke kawasan Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika.
“Tanpa langkah tegas dan terukur, Indonesia berisiko terjebak menjadi pasar barang murah, sementara cita-cita industrialisasi hanya tinggal jargon di atas kertas,” tandasnya.
Sebagai tambahan informasi, nilai impor dari China selama Januari hingga Mei 2025 tercatat terus meningkat. China masih menjadi negara nomor satu sebagai sumber kebutuhan impor Indonesia.
Rinciannya adalah:
1. Januari 2025: US$ 6,37 miliar (35,52% dari total impor)
2. Februari 2025: US$ 6,1 miliar (32,37% dari total impor)
3. Maret 2025: US$ 6,37 miliar (33,71% dari total impor)
4. April 2025: US$ 6,37 miliar (33,71% dari total impor)
5. Mei 2025: US$ 6,8 miliar
Mengutip data BPS, impor dari China didominasi oleh produk nonmigas. Sepanjang Januari hingga April 2025, nilainya mencapai US$ 25,77 miliar atau 39,48% dari total impor.
Komoditas utama impor dari China antara lain mesin dan peralatan mekanis serta bagiannya (HS 84), mesin dan perlengkapan listrik serta bagiannya (HS 85), serta kendaraan dan bagiannya (HS 87).
Baca Juga: Pengusaha Khawatir Industri Elektronik Lokal Redup Dihantam Produk Impor dari China
Selanjutnya: Prabowo Sebut Giant Sea Wall Butuh US$ 80 Miliar, Ekonom: Jika Dipaksakan APBN Jebol
Menarik Dibaca: iPhone 13 Pro Max Harga Juni 2025 Turun! Cek Fitur Lengkapnya & Kelebihannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News