Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa hari ini, nilai tukar rupiah merosot akibat tekanan di pasar global maupun domestik. Mengutip Reuters hari ini, Kamis (6/9) pukul 14.50 WIB, nilai tukar rupiah tercatat Rp 14.900 per dollar AS.
Meski dalam tren melemah, hal ini diyakini tidak mempengaruhi kinerja manufaktur. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan, pengaruh lemahnya nilai tukar rupiah ke manufaktur secara keseluruhan, sangat bergantung ke tujuan pasarnya.
“Ke kinerja manufaktur yang tujuannya ekspor tidak berpengaruh sama sekali. Kalau tujuannya dalam negeri pasti berpengaruh,” kata Ade kepada Kontan.co.id, Kamis (6/9).
Ia mencontohkan, sektor yang akan terpengaruh nilai tukar misalnya farmasi yang 90% bahan bakunya impor sedangkan jualnya dengan rupiah, atau sektor lain yang seluruh pasarnya hanya domestik.
“Misalnya properti juga. Marmer dari negara lain, semennya dari negara lain. Pasti K.O (knockout),” ucapnya.
Ke depan, Ade melihat bahwa risiko nilai tukar rupiah masih akan ada bagi pelaku pasar domestik. Sebab, The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuannya dua kali lah, yakni pada September dan Desember.
“The Fed terus konsolidasi naikkan suku bunga acuannya sehingga seluruh pasar uang di negara berkembang mengalami outflow karena investor mengembalikan dananya ke AS. Namun, saya lihat Indonesia tidak akan kesulitan menghadapi ini,” ujarnya.
Sebab, menurut Ade, dari segi fundamental ekonomi, Indonesia sendiri tidak memiliki masalah, kecuali current account yang defisit.
“Indonesia utang ke PDB-nya kecil, inflasi kecil. Karena itu, Indonesia beda dari Argentina dan Turki. Indonesia memiliki EoDB juga yang bagus. Investment grade bagus. Ini Indonesia ready to take off.
Ia menambahkan, yang masih jadi pekerjaan rumah bagi Indonesia adalah keterbatasan akses ekspor produk dalam negeri. Tidak seperti Vietnam dan Bangladesh yang punya akses ke Eropa dan AS.
“Indonesia masih bayar bea masuk lebih tinggi dari mereka, otomatis barang kita sangat kecil,” ucapnya.
Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia sendiri pada bulan Agustus naik menjadi 51,9, dari sebelumnya bulan Juli 50,5. Tertinggi dalam dua tahun terakhir. Hal ini lantaran domestic demand yang kuat.
Namun demikian, Ekonom IHS Markit Aashna Dodhia mengatakan, pertumbuhan yang cukup signifikan ini didorong oleh permintaan dalam negeri yang berada dalam laju paling tinggi sejak Juli 2014, berdasarkan survei.
Walaupun demikian, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menyebabkan pembengkakan biaya.
“Tantangannya ke depan adalah permintaan barang produksi Indonesia dari pasar internasional terus menurun pada bulan Agustus. Dan kedua, karena rupiah Indonesia masih tertekan oleh penguatan dollar AS,” jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News