Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Anggota Komisi III DPR, Martin Hutabarat, mengakui adanya kontroversi dalam pemilihan Patrialis Akbar sebagai Hakim Konstitusi. Namun menurutnya, kondisi ini disebabkan lemahnya sistem pemilihan Hakim Konstitusi.
Saat dijumpai KONTAN di Gedung DPR, Senin (12/8), Martin menjelaskan, dalam Undang-Undang (UU) No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, 9 orang Hakim Konstitusi dipilih oleh tiga lembaga yang berbeda. Ketiganya adalah Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung (MA). "Masing-masing berhak memilih 3 orang," kata Martin.
Masalahnya, menurut Martin, UU MK yang sebagian telah diperbarui dengan UU No 8 Tahun 2011, tidak mengatur secara spesifik keharusan adanya transparansi dalam pemilihan Hakim Konstitusi. Akibatnya, muncul pertanyaan atas dasar apa seseorang dipilih menjadi Hakim Konstitusi. "Inilah yang terjadi dalam kasus Patrialis Akbar," kata politisi Gerindra tersebut.
Martin mengakui, Presiden secara hukum memiliki hak prerogatif untuk memilih 3 Hakim Konstitusi yang menjadi jatahnya. Namun, jika tidak ada transparansi mengenai parameter yang membuat seseorang ditunjuk jadi Hakim Konstitusi, wajar jika menuai reaksi keras "Sudah tentu pilihan Presiden tidak mungkin menyenangkan semua pihak," jelas Martin.
Ke depan, Martin menambahkan, pentingnya UU MK direvisi. Ia mendesak agar dibuat pengaturan dalam proses pemilihan Hakim Konstitusi. "Jadi sebaiknya, pemilihan Hakim Konstitusi di tiga Lembaga Tinggi Negara tersebut bisa melibatkan partisipasi publik dan transparan," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News