Reporter: Grace Olivia | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembahasan tentang rencana pengenaan cukai terhadap kantong plastik telah bergulir cukup lama. Di hadapan anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024, hari ini, Rabu (19/2), Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali mendorong rencana tersebut untuk segera diputuskan.
Bendahara negara itu mengatakan, kontribusi sampah plastik Indonesia sangat besar di dunia. Oleh karena itu, konsumsi plastik mesti dikendalikan dengan instrumen cukai layaknya barang-barang dengan dampak negatif lainnya.
Baca Juga: Sri Mulyani proyeksi potensi penerimaan cukai kantong plastik capai Rp 1,6 triliun
Pengenaan cukai plastik juga diperlukan mengingat sampai saat ini Indonesia hanya memiliki tiga objek cukai, yaitu rokok, minuman keras, dan etanol. “Negara-negara lain kalau kita lihat. objek cukainya ada yang lebih dari 10 objek bahkan Thailand mencapai 21 objek. Di ASEAN, Indonesia adalah negara yang paling sedikit instrumen cukainya sebagai fungsi pengendalian maupun sumber penerimaan,” tutur Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI.
Selain itu, Sri Mulyani menjelaskan bahwa skema cukai akan lebih efektif dibandingkan dengan skema pengendalian konsumsi plastik lainnya yang telah berlaku saat ini. Misalnya, pelarangan penggunaan kantong plastik di pusat perbelanjaan, toko, dan ritel modern yang berlaku di beberapa daerah sekarang antara lain Banjarmasin, Bogor, Bali, Balikpapan, Jambi, Makassar, dan DKI Jakarta.
Meski dapat menurunkan konsumsi kantong plastik, regulasi tersebut memiliki risiko atau kesulitan dalam penerapannya.
“Kesulitannya dalam penegakan hukum, kalau melanggar lalu diapakan? Ini juga menimbulkan resistensi dari pelaku indsutri karena pelarangan itu artinya mereka tidak boleh berproduksi sama sekali alias tutup,” ujarnya.
Baca Juga: Bea Cukai amankan sabu 205,1 gram dari fasilitas jasa barang kiriman
Skema yang sudah berlaku saat ini juga adalah pungutan sebesar Rp 200 per lembar (kantong plastik berbayar) oleh KLHK, juga pungutan Rp 200-Rp 500 per lembar oleh Aprindo. Namun, skema pungutan ini juga dianggap tidak efektif lantaran menimbulkan ketidakseragaman pungutan. Pertanggungjawaban dari pungutan yang dilakukan juga menjadi tidak jelas.