Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Pemerintah Indonesia tampaknya kekurangan instrumen untuk menarik pajak dari Google. Persoalan ini pun masih bergulir, tanpa diketahui hingga kini berapa angka akurat dari Direktorat Jenderal Pajak yang patut dibayarkan oleh perusahaan internet asal Amerika Serikat itu.
Angka yang didapatkan oleh Bloomberg, pascapertemuan antara Google dan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan pada 19 Januari 2017 silam, Google diketahui telah membayarkan pajak 2015 senilai Rp 5,2 miliar dari total pendapatan sebesar Rp 20,9 miliar atau US$ 1,6 juta.
Soal total pendapatan sebesar Rp 20,9 miliar ini, Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus Muhammad Haniv meragukan revenue yang dilaporkan oleh Google tersebut. “Saya tidak yakin seperti itu standing Google. Revenue PT Google Indonesia saja lebih besar dari Rp 20,9 miliar,” kata Haniv saat dihubungi KONTAN, Jumat (17/2).
Di Indonesia, dalam periode 2012 hingga 2015, berdasarkan laporan keuangan yang dilaporkan oleh Google ke DJP, Google tercatat mendapatkan laba sebelum pajak sebesar Rp 74,5 miliar, dengan total keseluruhan pajak yang dibayarkan Rp 18,5 miliar. Adapun tercatat bahwa kantor pusat regional di Singapura membukukan pendapatan sebesar US$ 109.2
Sementara pemerintah memiliki dasar bahwa total pendapatan dari bisnis iklan digital di Indonesia pada tahun 2015 adalah sebesar US$ 830 juta. Angka US$ 830 juta ini sama dengan yang dikeluarkan oleh perusahaan riset AS eMarketer soal belanja iklan digital di Indonesia. Pemerintah memperkirakan, Google dan Facebook memegang pangsa pasar sekitar 70%.
Pemerintah selanjutnya menaksir kewajiban pajak Google bisa mencapai Rp 450 miliar per tahun dengan asumsi margin keuntungan yang diperoleh di kisaran Rp 1,6 triliun hingga Rp 1,7 triliun per tahun. Margin tersebut diperoleh atas penghasilan sekitar Rp 5 triliun per tahun.
Lebih lanjut, Haniv mengatakan bahwa pihaknya tidak akan mengecewakan negara dengan masih akan tetap memburu pajak Google. “Kami prinsipnya punya jurus jitu untuk memajaki Google,” katanya tanpa membeberkan lebih lanjut soal jurus jitu tersebut.
Adakah jurus jitu?
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, upaya yang saat ini dilakukan oleh DJP yaitu menginvestigasi customers Google perlu disamakan persepsinya. Pasalnya, jangan sampai justru investigasi ini membebani customers dan malah menimbulkan distrust baru.
“Pay per click misalnya, menurut saya, ya tunduk pada kontrak, bukan interpretasi subjektif kita,” katanya.
Adapun Peneliti pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji melihat, persoalan pemerintah menyelesaikan pajak Google yang paling penting terletak pada upaya membuat status kegiatan Google menjadi Badan Usaha Tetap (BUT) sehingga menjadi subjek pajak dalam negeri.
Asal tahu saja, DJP menemukan bahwa Google memiliki sekitar 140 unit Dedicated Cache Server (DCS) di Indonesia. Menurut Haniv, server-server tersebut itu merupakan bentuk BUT sebagai syarat dikenakan pajak. Beberapa di antaranya tersebar di seluruh Indonesia, terbanyak di wilayah DKI.
Namun menurut Bawono, itu saja tidak cukup untuk upaya memajaki Google mengingat alokasi penghasilan yang diterima suatu entitas di suatu yurisdiksi tergantung dari fungsi, aset, dan risikonya.
“Di sinilah tantangannya. Google di Indonesia tidak memiliki fungsi, aset, dan risiko yang substansial walaupun memiliki market based yang besar dari pasar Indonesia,” katanya.
Soal penetapan DCS sebagai BUT, Yustinus mengatakan bahwa hal ini juga berpotensi menimbulkan perdebatan jika dipaksakan. “Ditambah soal DCS yang berpotensi dispute jika dipaksakan untuk narik BUT,” ucapnya.
Di sisi lain, menurut Bawono secara global belum ditemukan konsensus internasional mengenai bagaimana persoalan ini bisa dipecahkan. OECD dan G20 baru membuat beberapa usulan opsi melalui Rencana Aksi 1 dari Proyek BEPS, tetapi baru di 2020 nanti akan ada solusi bersama.
“Hal ini jelas merugikan banyak negara termasuk Indonesia karena otoritas pajak tidak bisa menunggu konsensus tersebut sementara basis pajaknya tergerus,” ujarnya.
Opsi yang bisa dilakukan oleh Indonesia menurut dia bisa saja mengikuti kebijakan yang dilakukan oleh India dengan apa yang disebut equalization levy (EQL) tahun 2016 kemarin.
Keunggulannya, instrumen ini bersifat pajak final sehingga tidak rumit secara administrasi serta tidak memiliki berbagai persyaratan khusus seperti halnya Diverted Profit Tax yang diterapkan di Inggris.
“EQL juga lebih menjamin penerimaan terlepas dari bagaimana kontribusi fungsi, aset dan risiko dari entitas yang ada di India karena yang dilihat adalah market based-nya,” terangnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News