Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak siap memajaki penghasilan perusahaan barang/jasa asing dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Otoritas pajak pun sudah melakukan pendekatan kepada sepuluh yurisdiksi pada Jumat (29/5), ini sambil menyusun payung hukumnya.
Perwakilan yurisdiksi yang merupakan pelaku usaha antara lain berasal dari Amerika Serikat, Australia, China, Hong Kong, India, Inggris, Jepang, Singapura, Swedia, dan Thailand.
Selain itu, hadir pula anggota-anggota perusahaan dari US Chamber, US Asean Business Council (USABC) dan European Chamber.
Baca Juga: Bersiaplah, Ditjen Pajak akan pungut pajak Netflix dan Spotify
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) John Hutagaol mengatakan, otoritas telah menyampaikan mekanisme ketentuan pajak penghasilan (PPh) dan pajak transaksi elektronik (PTE) sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020.
UU tersebut merupakan penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
“Sesuai UU Nomor 2 Tahun 2020, ketentuan PPh dan PTE atas PMSE akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK),” kata John kepada Kontan.co.id, Minggu (31/5).
John menyampaikan yang akan diatur dalam PP dan PMK antara lain pelaku usaha luar negeri PMSE, kriteria Significant Economic Presence (SEP), Bentuk Usaha Tetap (BUT), tarif pajak PTE, dan ketentuan administrasi lainnya seperti pendaftaran, pelaporan, penyetoran, dan sanksi.
Baca Juga: Dibayangi pandemi corona, ekspor industri manufaktur naik 7,14% di Januari-April 2020
Kendati demikian, John bilang saat ini the Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang terdiri dari 137 negara termasuk Indonesia tengah membahas solusinya yang nantinya merupakan konsensus global dan ditargetkan akan terwujud di akhir 2020. Artinya, beleid baru bisa terbit ketika sudah ada mekanisme dari kesepakatan tersebut.
Di sisi lain, sebetulnya beberapa negara sudah memajaki penghasilan dari kegiatan ekonomi digital. Misalnya, India menerapkan equalization levy yang dianggap sebagai pungutan dan bukan PPh. Kemudian, Prancis, Mexico dan Inggris menerapkan digital service tax yang dianggap sebagai jenis pajak baru dan bukan PPh.
Tak perlu tunggu konsensus
Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menilai tidak ada salahnya Indonesia mengimplementasikan dahulu ketentuan unilateral dalam bentuk PTE, seperti negara lain yang sudah lebih dahulu menerapkan.
Langkah ini sekaligus mengantisipasi kegagalan atau mundurnya konsensus.
Baca Juga: Perhatian! Besok, Jumat (29/5) terakhir pemutihan pajak kendaraan di wilayah Jakarta
Alasan Darussalam, pandemi corona virus disease (Covid-19) secara tidak langsung meningkatkan relevansi untuk memajaki perusahaan digital terutama karena penggunaan platofrm digital yang meningkat serta kebutuhan penerimaan pajak untuk mengkompensasi stimulus covid.
“Ada wacana penggunaan aksi unilateral di berbagai negara selama dua bulan terakhir. Jika nanti konsensus tercapai, ketentuan tersebut dapat saja dicabut dan diselaraskan,” kata Darussalam kepada Kontan.co.id, Senin (1/6).
Pengamat Pajak Center for Indoneasia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menambahkan, memang langkah unilateral dapat dilakukan pemerintah saat ini. Hanya saja, konsekuensi global perlu jadi pertimbangan.
Baca Juga: Ingat lagi! 1 Juli 2020 perdagangan melalui sistem elektronik akan dikenakan PPN
“Agar kita menghindari dispute, terutama dengan Amerika Serikat (AS). kalau sampai ada dispute, ini malah menjadi ancaman bagi recovery ekonomi kita paska pandemi,” kata Fajry kepada Kontan.co.id, Senin (1/6).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News