Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto
Kendalanya, masalah data transaksi media sosial susah untuk dihimpun. Sebab, transaksi terjadi di luar platform. Sementara dari e-commerce transaksi cukup jelas, tertuang dalam setiap fitur dan kategori produk yang sudah cukup jelas.
Kesenjangan inilah yang perlu dipecahkan oleh pemerintah biar seluruh elemen ekonomi digital tertib administrasi.
Dalam skenarionya, pelapak e-commerce terbagi dua. Pertama, pelapak yang punya toko offline dan online. Kedua pelapak di toko online saja.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, pada dasarnya skema perpajakan ekonomi digital tidak ada kebaruan.
Hanya saja tujuan dari aturan ini biar tertib administrasi pajak. Pelapak e-commerce akan ditertibkan untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%.
Sementara untuk transaksi di bawah Rp 4,8 triliun per tahun bakal dikenakan pajak UMKM yakni Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,5% dari total transaksi per tahun.
Hestu bilang kebanyakan toko online yang punya offline sudah membayar pajak lewat online. Tetapi pelapak toko online saja belum tahu apakah sudah membayar pajak.
“Sampai saat ini kami belum punya data resminya, market place juga belum melaporkan,” kata Hestu saat di temui di kantor DJP kepada Kontan.co.id.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation (Cita) Yustinus Prastowo menilai terkait potensi penerimaan pajak market place sepertinya masih tergolong rendah. Sebab, mayoritas market place tergolong UMKM. “Dengan dicabutnya PMK kemarin otomatis terjadi status quo,” kata Yustinus kepada Kontan.co.id.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News