kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   -13.000   -0,85%
  • USD/IDR 16.200   -20,00   -0,12%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Indonesia sulit pajaki ekonomi digital, BKF jelaskan alasannya


Senin, 08 Juli 2019 / 19:32 WIB
Indonesia sulit pajaki ekonomi digital, BKF jelaskan alasannya


Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya memungut pajak dari sektor ekonomi digital menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya bahkan mengatakan, kesulitan Indonesia memajaki pelaku ekonomi digital juga dialami oleh hampir seluruh negara di dunia.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, sulit bagi otoritas untuk merumuskan skema perpajakan bagi ekonomi digital. Sebab, hak pemajakannya tidak jelas.

Suahasil mencontohkan, perusahaan over-the-top (OTT) yang beroperasi di Indonesia dan berpusat di luar negeri, lalu menjual jasa di Indonesia secara berbayar dan mengenakan kewajiban pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10%.

“Nah sekarang, PPN-nya itu punya siapa? Punya perusahaan yang di luar negeri atau yang di Indonesia? Hak itu saja sudah menjadi perdebatan besar,” kata dia, Senin (8/7).

Selain itu, ada pula perdebatan terkait pemungutan pajak penghasilan (PPh) dari keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan OTT.

Suahasil mengatakan, pemerintah sulit merumuskan skema pemajakan PPh terhadap perusahaan yang berkantor di luar negeri, namun memperoleh keuntungan dari penjualan atau aktivitas ekonominya di Indonesia.

“PPh itu kan (dipungut) dari keuntungan, tapi keuntungan itu bukan keuntungan perusahaan Indonesia. Tapi, dia berjualan di Indonesia. Nah itu juga menjadi masalah hak pemajakannya, bagaimana membaginya?” lanjut Suahasil.

Oleh karena itu, Kementerian Keuangan tengah dalam proses mengkaji peraturan perundang-undangan perpajakan di dalam negeri.

Hal ini agar pemerintah dapat membuat aturan yang nantinya menegaskan kewajiban perusahaan OTT sebagai wajib pungut PPN dari produk-produk yang dijual di Indonesia, maupun merumuskan skema pemajakan PPh untuk perusahaan-perusahaan digital tersebut.

Ada sejumlah negara yang telah menerapkan aturan perpajakan tersendiri bagi perusahaan ekonomi digital. Suahasil mencontohkan Australia sebagai salah satu negara yang telah mengatur perusahaan OTT seperti Netflix sebagai wajib pungut PPN.

Lantas, dari biaya berlangganan yang dikenakan terhadap konsumen, pemerintah menerima setoran pajak sesuai tarif yang ditetapkan.

“Jadi fairness (asas keadilan) dari pemajakan ini yang sekarang menjadi dimensi yang sangat penting. Ini terus kita bicarakan sambil menunggu hasil kebijakan yang dirumuskan oleh OECD,” pungkasnya.

Suahasil mengatakan, proses perumusan skema pajak digital yang adil bukan pekerjaan satu dua hari. Namun, ia juga sepakat kalau pemerintah harus fokus menggodok kebijakan lantaran semakin besarnya perkembangan ekonomi digital saat ini.

“Lima sampai sepuluh tahun lagi, hal-hal yang mungkin sekarang belum terpikirkan, itu juga harus bisa kita atur juga. Ini yang memang sekarang negara-negara di dunia sedang berpikir, bagaimana mengatur (pemajakan) yang fair,” kata Suahasil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×