Sumber: KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi kesepakatan soal tarif pajak rokok untuk daerah. Mereka sepakat mematok pajak rokok sebesar 10% dari nilai cukai.
Yang menarik, Pemerintah dan DPR sependapat memasukkan besaran tarif pajak rokok itu dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Semula besaran pajak rokok akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Sedikit kilas balik, awalnya, RUU PDRD hanya mematok kisaran pajak rokok, yakni 10%-15% dari tarif cukai. Pengaturan tarif persisnya berdasar PMK agar Pemerintah bisa mengubah besaran pajak rokok kapan saja.
Ketua Panitia Khusus RUU PDRD Harry Azhar Azis menjelaskan, Pemerintah pusat yang bertugas memungut pajak rokok yang mulai berlaku 2014 itu. “Sebelumnya disepakati, pajak rokok dipungut oleh pemerintah provinsi,” ujar Harry, Kamis (2/7).
Nantinya, Pemerintah akan membuat rekening khusus, baik tingkat pusat maupun provinsi. Lalu, Pemerintah provinsi bakal meneruskan dana bagi hasil pajak rokok ke pemerintah kabupaten/kota. Besarnya 30% untuk pemerintah provinsi, dan 70% pemerintah kabupaten/kota.
Penentuan besaran bagi hasil untuk setiap daerah berdasarkan populasi penduduk. Daerah juga harus menggunakan dana pajak itu untuk peningkatan pelayanan kesehatan.
"Kesepakatan baru ini akan membuat pemungutan pajak rokok mudah dan efisien," kata Budi Sitepu, Direktur PDRD Depkeu.
Harry menambahkan, penjelasan lebih detail soal pajak rokok akan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Pengusaha rokok bereaksi keras atas aturan ini. Pengenaan pajak bisa membuat harga rokok naik. "Kalau harga rokok mahal akan memberatkan masyarakat. Itu bisa membuat daya beli turun dan pendapatan pengusaha anjlok," kata Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia, Muhaimin Moefti. Ia menyayangkan DPR dan Pemerintah yang tak melibatkan pengusaha dalam membahas pajak rokok ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News