Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pihak menilai RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah rancangan yang sarat kontroversi dan telah mendapat banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil, termasuk akademisi.
Sebab itu, kalangan akademisi telah sejak awal menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja karena nyata-nyata meminggirkan hak rakyat. Menyadari pentingnya berkonsolidasi, maka disebarlah petisi online untuk menghimpun pendapat kritis akademisi secara kolektif terkait Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Sejak Maret 2020 hingga April 2020, petisi online sudah ditandatangani oleh 92 akademisi, tercatat 3 profesor, 30 doktor, 57 magister dan 2 sarjana. Petisi itu diumumkan kepada khalayak dalam konferensi pers online bertajuk β92 Akademisi Menolak Omnibus Lawβ pada Rabu (22/4).
Baca Juga: Temui Jokowi, pimpinan serikat buruh bahas penolakan omnibus law
Pengumuman tersebut sekaligus sebagai simbol penyerahan petisi kepada Presiden dan DPR RI secara terbuka, sehingga dapat menjadi pertimbangan Presiden dan DPR untuk menghentikan pembahasan dan mencabut Omnibus Law dari program legislasi nasional (prolegnas).
Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M, Ph.D mengungkapkan proses pembentukan Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah melanggar asas keterbukaan karena dilakukan secara tidak transparan dan minim partisipasi publik.
Susi mengatakan, selama proses perancangan, pemerintah tidak pernah secara terbuka menyampaikan kepada masyarakat. Bahkan terkesan sembunyi-sembunyi dan publik baru dapat mengaksesnya setelah RUU tersebut selesai dirancang oleh Pemerintah dan diserahkan kepada DPR.
"Hal ini tentu melanggar asas keterbukaan yang tercantum dalam penjelasan pasal 5 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,β kata akademisi yang sekaligus menjadi Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran tersebut, Rabu (22/4).
Senada, Prof. Ir. Yonariza, M.Sc, Ph.D yang merupakan Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Andalas juga menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Menurut dia, substansi Omnibus Law RUU Cipta Kerja terlalu berkarakter kapitalisme - neoliberal yang hanya ingin mengejar pertumbuhan ekonomi namun mengorbankan kesejahteraan rakyat. Serta tidak berwawasan pembangunan berkelanjutan.
"Karakter tersebut tentu tidak sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pasal 33 UUD 1945β, ujarnya.
Baca Juga: Isu tenaga kerja di RUU Cipta Kerja sebaiknya dibahas belakangan, ini alasannya