kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Dinilai merugikan hak rakyat, 92 akademisi menolak RUU Cipta Kerja


Rabu, 22 April 2020 / 19:39 WIB
Dinilai merugikan hak rakyat, 92 akademisi menolak RUU Cipta Kerja
ILUSTRASI. Proses pembentukan RUU Cipta Kerja diniali telah melanggar asas keterbukaan karena dilakukan tidak transparan dan minim partisipasi publik.


Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pihak menilai RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah rancangan yang sarat kontroversi dan telah mendapat banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil, termasuk akademisi.

Sebab itu, kalangan akademisi telah sejak awal menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja karena nyata-nyata meminggirkan hak rakyat. Menyadari pentingnya berkonsolidasi, maka disebarlah petisi online untuk menghimpun pendapat kritis akademisi secara kolektif terkait Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Sejak Maret 2020 hingga April 2020, petisi online sudah ditandatangani oleh 92 akademisi, tercatat 3 profesor, 30 doktor, 57 magister dan 2 sarjana. Petisi itu diumumkan kepada khalayak dalam konferensi pers online bertajuk β€œ92 Akademisi Menolak Omnibus Law” pada Rabu (22/4).

Baca Juga: Temui Jokowi, pimpinan serikat buruh bahas penolakan omnibus law

Pengumuman tersebut sekaligus sebagai simbol penyerahan petisi kepada Presiden dan DPR RI secara terbuka, sehingga dapat menjadi pertimbangan Presiden dan DPR untuk menghentikan pembahasan dan mencabut Omnibus Law dari program legislasi nasional (prolegnas).

Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M, Ph.D mengungkapkan proses pembentukan Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah melanggar asas keterbukaan karena dilakukan secara tidak transparan dan minim partisipasi publik.

Susi mengatakan, selama proses perancangan, pemerintah tidak pernah secara terbuka menyampaikan kepada masyarakat. Bahkan terkesan sembunyi-sembunyi dan publik baru dapat mengaksesnya setelah RUU tersebut selesai dirancang oleh Pemerintah dan diserahkan kepada DPR.

"Hal ini tentu melanggar asas keterbukaan yang tercantum dalam penjelasan pasal 5 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” kata akademisi yang sekaligus menjadi Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran tersebut, Rabu (22/4).

Senada, Prof. Ir. Yonariza, M.Sc, Ph.D yang merupakan Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Andalas juga menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Menurut dia, substansi Omnibus Law RUU Cipta Kerja terlalu berkarakter kapitalisme - neoliberal yang hanya ingin mengejar pertumbuhan ekonomi namun mengorbankan kesejahteraan rakyat. Serta tidak berwawasan pembangunan berkelanjutan.

"Karakter tersebut tentu tidak sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pasal 33 UUD 1945”, ujarnya.

Baca Juga: Isu tenaga kerja di RUU Cipta Kerja sebaiknya dibahas belakangan, ini alasannya



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×