Reporter: Dyah Megasari |
Teka-teki yang hampir punah, minggu-minggu ini hidup kembali. Bukan tebak manggis, tetapi harga BBM: Kebanyakan orang memilih tidak naik. Maklum, sudah dua kali mereka tertipu.
Maka, semua orang mencari "clue" dari "gesture" pengambil keputusan. Hari Senin (10/6/2013) minggu lalu misalnya, sepulang dari Istana Negara saya dimintakan laporan. Yang saya lihat pagi itu senyum bapak presiden tak mengembang. Dihadapan para penerima piala Adipura dan Kalpataru, presiden bercerita, pukul 3 dini hari ia terbangun menyaksikan siaran televisi asing yang memberitakan pembalakan liar di Indonesia.
Saya tak tahu persis mengapa senyum SBY tak mengembang. Tetapi beberapa hari itu kita mendengar nilai rupiah mulai menembus batas psikologis Rp 10.000. Sementara koalisinya malah menebar spanduk yang menunjukkan bahwa pemerintahan SBY tidak pro rakyat. Dan salah satunya ada di jajaran mentri yang pagi itu ada di ruangan itu. Hanya saja sebelum presiden tiba mereka terlihat mesra.
Seorang pemangku adat penerima Kalpataru tersenyum. "Lihat itu orang PKS berpelukan dengan Demokrat,” ujarnya. Yang lain menjawab, “Kok berbeda dengan yang terlihat di TV." ujarnya.
Komunikasi politik yang dibangun sepertinya adalah soal kecil yang dikesankan besar. Bensin untuk orang kaya yang akan diturunkan subsidinya dikesankan bakal naik “jutaan” rupiah. Padahal, harga sebungkus rokok sudah dua kali lebih mahal dari harga seliter bensin dan praktis semua barang sudah naik sebelum harga BBM resmi naik. Ada kecenderungan politik hanya saling mengunci.
Seorang tokoh adat lainnya berujar. “Kalian pengecut. Baru naik seribu limaratus perak saja sudah sakit perut. Di Papua kami harus beli bensin Rp 28.000, tak pernah mengeluh. Gara-gara ribut politik, rakyat saling mengasah parang."
Di Bali, saudara-saudara saya menuliskan pepatah yang kini sering diucapkan para pemangku adat: Anak beduwur minum, irage beten punyah (Yang duduk di atas yang minum, rakyat di bawah yang mabuk).
Saya cuma bisa mengatakan, tak ada bangsa yang bisa berubah menjadi besar selain yang: bersatu, dan bersedia melewati masa-masa sulit bersama. Sedangkan yang kalah hanyalah bangsa yang selalu mempersoalkan identitasnya, saling mengunci dan takut bertarung menghadapi kesulitan. (Penulis: Rhenald Kasali, Akademisi dan Praktisi Bisnis/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News