Reporter: Harris Hadinata | Editor: Harris Hadinata
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Surplus neraca transaksi berjalan Indonesia saat ini dinilai kurang solid. Alasannya, penguatan neraca transaksi berjalan lebih banyak terjadi karena investasi yang melemah sejak pandemi.
Pranjul Bhandari, Chief India Economist/Strategist, ASEAN Economist HSBC, menuliskan dalam risetnya yang berjudul Indonesia: Holding Up a Mirror, rumahtangga, korporasi, dan pemerintah saat ini tidak bisa diharapkan mendorong investasi.
Artinya, agen pendorong pertumbuhan ekonomi tradisional saat ini tidak memiliki kapasitas mendukung pertumbuhan investasi. “Tapi sekarang ada Danantara, menurut saya Danantara hadir di saat yang tepat,” sebut Bhandari, dalam wawancara terbatas dengan wartawan, Rabu (29/10).
Baca Juga: Total Investasi Indonesia Investment Authority (INA) Rp 65,4 Triliun hingga Mei 2025
Bhandari menilai, Danantara juga memulai operasionalnya dengan langkah positif. Danantara memiliki modal yang cukup, berasal dari anggaran negara US$ 20 miliar. Selain itu, Danantara juga mendapat jatah dari dividen perusahaan pelat merah yang dipindahkan ke lembaga ini serta dari efisisensi yang digelar pemerintah. Dus, total modal mencapai US$ 61 miliar.
Danantara juga sudah mengumumkan sejumlah rencana. Total rencana investasi di tiga bulan pertama mencapai US$ 10 miliar, 80% di antaranya investasi di dalam negeri.
Danantara juga berniat masuk pasar saham untuk meningkatkan likuiditas di pasar saham dalam negeri. “Ini adalah badan yang benar-benar fokus di investasi,” papar Bhandari.
Kendati begitu, Bhandari memaparkan, agar berhasil, Danantara tidak bisa bergerak sendiri . “Harus ada reformasi ekonomi, harus ada stabilisasi makro ekonomi, harus ada stabilisasi politik,” sebut dia.
Selanjutnya: Meta Catat Biaya Sekali Bayar Rp 256 Triliun Untuk Program Trump
Menarik Dibaca: Redmi 15 HP RAM 8GB yang Tawarkan Harga 2 Jutaan Aja, Cek Spesifikasinya di Sini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













