Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
Yoga menambahkan sesuai dengan mekanisme yang berlaku aset atau dana repatriasi yang telah melewati holding period selain dianggap tidak memiliki dosa pajak, juga bebas dari kewajiban investasi di dalam negeri.
Namun demikian, pemerintah meyakini dana repatriasi masih banyak bertengger di dalam negeri karena kinerja investasi dalam negeri yang positif pada 2019.
Baca Juga: Ekonom perkirakan kebutuhan valas akan meningkat di akhir kuartal IV-2019
Di sisi lain, Kepala Ekonom Center of Reform Economics (CORE) Piter Abdullah menilai dana repatriasi besar kemungkinan untuk bertahan di Indonesia.
Alasannya, pemilik dana repatriasi tersebut adalah pengusaha Indonesia yang tentunya sangat paham kondisi termasuk risiko investasi dalam negeri, sementara imbal hasilnya masih relatif tinggi.
Sepanjang tahun 2019 instrumen investasi obligasi korporasi memberikan imbal hasil 14,01%, sementara obligasi pemerintah 13,9%. Kata Piter dengan tingkat risiko yang terukur dan imbal hasil masih menarik, pemilik dana repatriasi akan melanjutkan investasinya di Indonesia.
Sementara untuk tahun depan, iklim investasi dalam negeri diramal akan membaik. Berbagai upaya pemerintah termasuk rencana penerbitan undang-undang (UU) Omnibus Law, serta komitmen pemerintah terus membangun berbagai infrastruktur adalah gambaran bahwa iklim investasi tahun 2020 akan lebih baik.
Baca Juga: Lokal Tambah Getol, Asing Makin Kendor Bertransaksi di Bursa Saham
Dari sisi kinerja obligasi pemerintah tahun depan, Piter memandang sekiranya akan tetap baik terutama didukung oleh kondisi likuiditas global yg masih akan cukup berlimpah. Namun, tantangan ada di pasar obligasi swasta pasca adanya gagal bayar obligasi sektor swasta di tahun 2019.
“Jauh dari kata rawan. Apalagi didukung juga oleh kebijakan moneter yang akomodatif. Yang masih kita harapkah adalah kebijakan yang lebih longgar di sisi fiskal,” kata Piter kepada Kontan.co.id, Selasa (31/12).