Reporter: Aprillia Ika |
JAKARTA. Langkah Exxon untuk mulai berproduksi masih terganjal masalah lahan. Padahal Exxon sudah menggelontorkan dana sebesar Rp 3,8 miliar untuk tahap pertama pembebasan lahan. Sayang, isu adanya penyelewengan dana oleh tim pembebasan lahan bentukan pemkab Bojonegoro tiba-tiba menyeruak.
Exxon Mobil Oil Indonesia (EMOI) melalui anak perusahaannya Mobil Cepu Limited (MCL) mulai menggeber persiapan produksi di lapangan Banyuurip, Bojonegoro. Menurut jadwal, Lapangan Banyuurip harus mulai berproduksi bulan Desember mendatang.
Satu hal yang menjadi ganjalan adalah tarik ulur masalah pembebasan lahan seluas 600 hektare untuk kepentingan Central production Facility (CPF). Pembebasan lahan iniĀ melibatkan sekitar 4.000 pemegang hak tanah di sekitar Blok Cepu tersebut. Padahal, pihak Exxon telah menggelontorkan sejumlah dana ke tim pembebasan lahan bentukan pemerintah Kabupaten Bojonegoro (Pemkab Bojonegoro).
Menurut pihak MCL, total dana pembebasan lahan sekitar Blok Cepu adalah sebesar Rp 10,8 miliar. Dana tersebut berasal dari kas BP Migas yang diserahkan kepada Exxon selaku penggarap Blok Cepu. Rencananya, dana tersebut akan dicairkan dalam tiga tahap. Tahap pertama pencairan adalah pada bulan Mei 2007 sebesar Rp 3,8 miliar.
Lantaran merasa tidak sanggup mendata dan memverifikasi 4.000 dokumen tanah milik warga sekitar lapangan Banyuurip tersebut, pihak Exxon melalui MCL lantas meminta bantuan kepada Pemkab Bojonegoro.
Permintaan bantuan tersebut lantas ditindaklanjuti mantan Bupati Bojonegoro HM Santoso dengan membentuk Tim Koordinasi pengendalian pembebasan Lahan (TKP2L). Tim ini menyanggupi 15 butir permintaan bantuan MCL kepada Pemkab Bojonegoro. Tim inilah yang kemudian menerima dana tahap awal pembebasan lahan sebesar Rp 3,8 miliar dari MCL.
Tugas tim ini adalah untuk melakukan verifikasi terhadap 4.000 dokumen tanah baik di desa, dusun, dan kecamatan, serta melakukan legalisasi tanah-tanah bermasalah atau yang sudah berpindah ahli waris. "Masalahnya, jika status tanah belum jelas, maka kita juga akan sulit menegosiasikan harga. Apalagi kan yang mau beli tanah itu negara. Susah kalau tidak transparan," tandas Dedy Afidick, Development Manager MCL.
Sayangnya, dari Mei 2007 sampai bulan November 2008, kinerja tim masih nihil. "Kinerja tim bisa dibilang berhasil tatkala kami sudah bisa melakukan nego harga dengan pemilik lahan yang sah. Karena semua proses dokumentasi dan legalisasi tanah sudah dilakukan," lanjut Dedy.
Sayangnya, sampai saat ini, TKP2L baru membuahkan prestasi mengukur sekitar 300 hektare tanah dari 600 hektare tanah yang akan digunakan Exxon. Sedangkan lahan yang telah terbebas kan hanya sekitar 1,5 hektare saja.
Tak heran, keterlambatan TKP2L ini lantas berkembang menjadi isu adanya penyelewengan dana. Pasalnya, dana tersebut masuk ke dalam dana cost recovery yang seharusnya dilaporkan penggunaannya ke DPRD Bojonegoro. "Tenggat waktu pembebasan lahan sih tidak ada di MoU. Tetapi indikasi adanya kelambatan pembebasan lahan mulai terlihat," kata Dedy.
Dedy sendiri mengaku sudah melakukan hearing dengan TKP2L dan DPRD Komisi A Bojonegoro menyangkut masalah tersebut. "Saat itu pihak TKP2L bilang bahwa sudah ada kemajuan dalam hal sosialisasi," lanjutnya.
Sementara itu, Wakil Bupati Bojonegoro Setyo Hartono bilang bahwa pihaknya berharap agar dalam masalah dana pembebasan lahan tersebut tidak ada penyelewengan apa pun. "Ini kan untuk rakyat, masak tega," kilahnya sambil berseloroh. Setyo sendiri merupakan salah satu anggota TKP2L.
Sedangkan Ketua I TKP2L yang juga Sekretaris KabupatenĀ Bojonegoro, Bambang Santoso malah mempersilakan DPRD Komisi A Bojonegoro untuk memeriksa laporan kinerja timnya. "Silakan jika ingin memeriksa laporan penggunaan dana tersebut. Namun sesuai MoU kita akan melaporkannya kepada Exxon dan BP Migas," elaknya lagi.
Keterlambatan TKP2L tentu saja menghambat kinerja proyek-proyek pendukung aktivitas operasional Lapangan Banyuurip. Misalkan saja menghambat proyek persiapan lahan untuk fasilitas produksi awal (early production facility/EPF) yang tendernya telah dimenangkan oleh PT Waskita Karya dan Dinasty Pratama.
Jika proyek ini selesai, maka proyek selanjutnya yang bisa berjalan adalah proyek pembangunan sarana dan prasarana EPF yang akan dilakukan oleh PT Man Ferosta dan PT Hannover. Jika proyek kedua perusahaan ini jalan, maka giliran PT Century Dinamika Drilling yang unjuk gigi melakukan pengeboran.
Bisa dipastikan, adanya keterlambatan pembebasan lahan oleh TKP2L akan menghambat laju proyek paralel yang sedang dikebut pihak Exxon tersebut. "Menurut perkiraan, Banyuurip bisa menghasilkan 20 ribu barel per hari dari empat sumur. Dan pada produksi puncaknya, diharapkan Blok Cepu bisa menghasilkan 165 ribu barel per hari," lanjut Dedy.
Dedy sendiri mengaku akan tetap menjalankan produksi di Banyuurip sesuai jadwal. Yaitu pada bulan Desember 2008 nanti. "Yang kita kejar adalah di daerah pengeborannya agar produksi bisa jalan dulu. Makanya, area buffer, yaitu area pembatas antara tempat pengeboran dengan tempat warga kita kejar nanti. Jadi tidak ada gangguan produksi," lanjutnya lagi.
Untuk mengejar tenggat waktu, pihak Exxon lantas hanya akan mengebor di lapangan Banyuurip. "Diperkirakan, untuk produksi awal, rata-rata produksi empat sumur baru akan mencapai enam ribu barel per hari," pungkas Dedy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News