Sumber: KONTAN | Editor: Tri Adi
JAKARTA. Duit sebesar US$ 1 miliar dari Norwegia untuk program pelestarian hutan di Indonesia, ternyata, tidak 100% hibah murni. Soalnya, pencairan dana tersebut mengacu pada skema Reduction Emision from Deforestation and Degradation Plus alias REDD+.
Pencairan dana dari negeri Skandinavia itu berdasarkan stok karbon yang dihasilkan hutan-hutan yang ada di Indonesia.
"Setelah dilakukan MRV (Measuring, Reporting, and Verification) akan ketahuan berapa stok karbon yang bisa kita naikkan dari sebelumnya. Nanti Norwegia akan membayar sesuai stok karbon tersebut," ungkap Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto, Kamis (17/6).
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, pencairan hibah dari Norwegia memang berdasarkan prestasi yang negara kita hasilkan. "Di mana nanti kalau kita ukur emisi karbonnya menurun, maka sebesar penurunan itulah kita dibayar, jumlahnya hingga 2016 US$ 1 miliar," katanya.
Dari dana sebanyak US$ 1 miliar tersebut, sebanyak US$ 200 juta di antaranya akan berupa hibah murni. Hatta bilang, duit ini akan cair kalau Indonesia sudah menyelesaikan tahap pertama dari letter of intent (LoI) dengan Norwegia, yakni konsolidasi dan pembangunan kapasitas.
Itu sebabnya, Kepala Departemen Kampanye Walhi Muhamad Teguh Surya mengatakan, hibah dari Norwegia tersebut lebih pas disebut upah. Mereka hanya membayar dengan menghitung berapa banyak emisi yang bisa Indonesia turunkan berdasarkan luas hutan yang dipertahankan. "Jika hasilnya tidak sesuai perjanjian, mereka berhak untuk tidak mencairkan dana, kita tak bisa menuntut apa-apa," ujar dia.
Dana hibah ini, Teguh mengingatkan, juga baru sebatas komitmen, artinya belum tentu cair seluruhnya. Pada akhirnya, "LoI tak lebih dari sekadar perjanjian jual beli karbon saja, bukan bentuk kesadaran negara maju dalam memerangi pemanasan global," katanya
Menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, tidak semua dana hibah dari Norwegia itu dipakai untuk kepentingan pelestarian hutan di negara kita. Tapi, bisa juga digunakan untuk kepentingan lainnya. "Minimal 60% disalurkan untuk pembangunan dan pengelolaan hutan," ujarnya.
Cuma, Zulkifli menegaskan, keputusan menghentikan sementara atau moratorium izin baru alih fungsi kawasan hutan alam dan lahan gambut bukan semata untuk mendapatkan hibah dari Norwegia tersebut. Sebab, kebijakan itu juga merupakan Rencana Aksi Nasional (RAN) yang ditetapkan jauh sebelum LoI dengan Norwegia diteken.
Zulkifli bilang, kesepakatan yang ditandatangani di Oslo itu juga tidak merugikan pengembangan ekonomi kita. "LoI sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional bidang Kehutanan, jadi tidak menekan pemerintah," tegas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News