Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerbitan high yield promissory notes (HYPN) oleh PT IndoSterling Optima Investa (IOI) tidak dapat dinilai sebagai produk perbankan. Pasalnya, pada saat HYPN diterbitkan pada 2018-2019 oleh IOI, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Bank Indonesia (BEI) tak memiliki aturan soal itu.
Hal itu disampaikan Pendiri Grup Indosterling, Sean William Henley (SWH) dalam pembacaan nota pembelaan (pledoi) pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Rabu (8/12) seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Kuasa hukum SWH, Hasbullah meminta majelis hakim membebaskan semua dakwaan kepada kliennya. Ia beralasan, perbuatan yang dilakukan terdakwa merupakan perbuatan korporasi, melakukan hubungan keperdataan dalam bentuk hutang piutang, yaitu surat sanggup atau surat hutang (promisorry noted).
"Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga tidak bisa membuktikan perbuatan terdakwa sebagaimana dalam dakwaannya," ucapnya.
Baca Juga: IndoSterling tegaskan komitmen restrukturisasi pembayaran utang pada kreditur
William Henley yang menjadi terdakwa dalam perkara ini mengatakan bahwa dakwaan dan penuntutan yang telah dilakukan oleh JPU ini belum memahami secara baik terkait aspek teknis maupun karakter penerbitan HYPN.
Perihal promissory notes ini, kata dia, hal tersebut merupakan surat utang langsung dari debitur atau borrower kepada kreditur atau investor. Instrumen HYPN itu, bersifat jangka pendek dan unsecured alias tidak menggunakan agunan.
“Promissory notes ini merupakan private notes dan bukan publik atau market securities, sehingga keuntungannya adalah langsung ke pemilik dana tanpa melalui financial intermediary. Oleh karena itu, promissory notes ini bukan merupakan produk perbankan, mengingat perbankan itu merupakan lembaga yang produknya harus simpanan dalam bentuk tabungan atau giro,” jelasnya.
William Henley juga menampik telah melakukan penipuan terhadap adanya penerbitan HYPN. Dalam kasus HYPN Indosterling, kata dia, saksi dari pihak Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan menyatakan bukan produk perbankan.
Baca Juga: Kreditur IOI berharap pembayaran PKPU lancar dan kasus pidana dihentikan
Artinya, adanya penghimpunan dana masyarakat sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum menjadi tidak relevan. “Sehingga tuduhan kami menjalankan investasi tanpa ijin jelas salah,” paparnya.
Ia bilang, mengatakan penerbitan HYPN oleh PT IOI ini dilakukan pada 2018—2019. Instrumen ini menawarkan bunga tetap 9% - 12% per tahun. Pada mulanya pembayaran kupon berlangsung lancar hingga pandemi Covid-19 membuat perekonomian macet sehingga IOI tidak dapat memenuhi kewajiban kepada para nasabah terhitung mulai 1 April 2020.
Pandemi Covid-19 yang berlarut membuat penundaan pembayaran yang berkelanjutan kepada pemegang HYPN mengakibatkan munculnya permohonan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dari beberapa pemegang HYPN.
Proses persidangan PKPU memutuskan untuk menerima skema perdamaian yang ditawarkan IOI dalam Perjanjian Homologasi yang disetujui mayoritas kreditur sebanyak 878 Kreditur telah dituangkan dalam Putusan PKPU - Perdamaian (Homologasi) pada Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat No.174/PDT-SUS/PKPU/2020/PN.NIAGA.JKT.PST pada 2 September 2020.
Baca Juga: Percepat Pembayaran Cicilan, Gaya Komunikasi Non Verbal IndoSterling Optima Investa
Adapun skema yang disetujui dalam proses PKPU yakni dana para kreditur akan dibagikan dalam tujuh tahap yang akan dimulai dari 1 Maret 2021 hingga Desember 2027. Hal itu ditetapkan majelis hakim dengan mempertimbangkan jumlah investasi, umur kreditur, dan kondisi kesehatan kreditur.
Sementara itu Hasbullah mengatakan berdasarkan alat bukti dan barang bukti di persidangan perbuatan William Henley ini bukanlah perbuatan pidana. Ia juga menegaskan apa yang dilakukan oleh William Henley tidak terbukti satupun secara sah dan meyakinkan telah melanggar unsur dari Pasal 46 Jo Pasal 16 Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No.7/1992 mengenai perbankan.
“Jadi kesimpulan penuntut umum yang menyatakan bahwa terdakwa memenuhi pasal 46 jo pasal 16 UU Perbankan itu merupakan kesimpulan yang sesat,” kata Hasbullah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News