Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Tendi Mahadi
Kemudian, hubungan antara kinerja produksi dan produktivitas tenaga kerja pada akhirnya menjadi indikator yang menjadi sorotan bagi pihak manajemen perusahaan. Imbasnya, perusahaan-perusahaan tersebut mau tidak mau harus melakukan pengurangan tenaga kerja agar bisa tetap bertahan.
"Memang jika dilihat dari data, masih ada sektor pertanian yang kontribusi ekonominya mencapai 13% dan tenaga kerjanya mencapai 28-29%, tetapi sektor ini masih relatif ambigu," paparnya.
Baca Juga: Wabah corona merebak, BPS catat iklan lowongan kerja turun 70% dalam sebulan
Fajar mengartikan, ambigu dalam pengertian tersebut artinya proses produksi masih berjalan, tetapi terjadi excess supply karena keran ekspor masih agak terganggu. Kemungkinan adanya pengurangan tenaga kerja di sektor ini pun ada.
Terlebih, karena harga jual yang semakin merosot membuat perusahaan harus putar otak untuk meng-cover biaya operasional. Akibatnya, salah satunya yang mungkin terjadi adalah pengurangan tenaga kerja.
Meski begitu, Fajar tidak mengesampingkan kenyataan bahwa sektor pariwisata dan transportasi juga paling terdampak dan akan berkontribusi pada tingkat pengangguran. Namun demikian, apabila dihitung kontribusi tenaga kerja berdasarkan lapangan usaha, maka sektor tersebut hanya menyumbang kurang dari 5%.
Lebih lanjut, pada saat pemulihan setelah adanya wabah ini, Fajar menyarankan agar pemerintah dapat menyiapkan berbagai fasilitas yang dapat menormalisasi kinerja sektor tersebut.
Baca Juga: Khusus angkot, Pertamina beri cashback 50% untuk pembelian Pertalite dan Dexlite
Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari fasilitas atau insentif impor bahan baku, fasilitas ekspor, dan masih banyak lagi. "Khusus untuk ketenagakerjaan, perlu ada insentif bagi sektor yang berorientasi padat karya, misalnya pembebasan pajak untuk beberapa periode tertentu bila perusahaan tersebut mampu kembali menyerap tenaga kerja," kata Fajar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News