kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Core yakin pertumbuhan ekonomi tahun 2019 masih akan sama dengan tahun 2018


Rabu, 21 November 2018 / 17:10 WIB
Core yakin pertumbuhan ekonomi tahun 2019 masih akan sama dengan tahun 2018
ILUSTRASI. Aktivitas pembangunan gedung bertingkat


Reporter: Martyasari Rizky | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Center of Reform on Economics (Core) Indonesia meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2019 masih akan sama dengan tahun 2018, yaitu berada pada rentang 5,1% sampai dengan 5,2%.

Hal tersebut tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, peningkatan harga minyak, pengetatan moneter, serta adanya ketidakpastian yang diciptakan oleh perang dagang antara AS dengan China.

"Prediksi kami, perang dagang di tahun 2019 nanti masih akan berlanjut, harga minyak dunia juga masih akan tertekan. Serta masih adanya pengetatan moneter, walaupun tidak akan seketat tahun 2018," kata Muhammad Faisal, Direktur Core Indonesia, Rabu (21/11).

Sehingga, target pertumbuhan ekonomi 5,3% yang dipatok pemerintah untuk tahun 2019 secara realistis akan masih sulit untuk dicapai.

"Belanja pemerintah memang dapat digenjot untuk tumbuh lebih tinggi. Tetapi dua sumber pertumbuhan lainnya seperti, investasi dan ekspor masih akan mengalami tekanan," tambah Faisal.

Gejala pelemahan ekspor khususnya ke pasar utama sudah terlihat sejak tahun 2018. Pada periode Januari hingga Oktober 2018, ekspor nonmigas ke AS hanya tumbuh 3,7%, sepertiga dari pertumbuhan pada periode yang sama di tahun sebelumnya yang mencapai 10,3%.

Dan untuk ekspor nonmigas ke Tiongkok memang masih tumbuh 22%, tetapi capaian itu sebenarnya kurang dari separuh pertumbuhan ekspor pada periode yang sama di tahun 2017.

"Sedangkan, pertumbuhan ekspor manufaktur malah jauh lebih lambat, yakni hanya mencapai 5% berbanding dengan ekspor komoditas yang mencapai 22% sepanjang Januari hingga Oktober di tahun ini," ujar Faisal.

Dalam kondisi defisit perdagangan yang masih akan sulit dijinakkan, konsumsi rumah tangga dan investasi mau tidak mau menjadi krusial untuk dapat mencegah perlambatan ekonomi tahun 2019.

Secara kumulatif sampai dengan triwulan ketiga tahun 2019, penanaman modal tetap bruto (PMTB) memang masih akan tumbuh di angka 6,91%, lebih tinggi timbang periode yang sama di tahun 2017 yang hanya mencapai 5,75%.

Namun, investasi yang dalam beberapa tahun terakhir tumbuh paling tinggi mulai menunjukkan gejala perlambatan, khususnya penanaman modal asing (PMA). Data badan koordinasi penanaman modal (BKPM) menunjukkan pertumbuhan PMA pada triwulan kedua dan ketiga tahun 2018 sudah mengalami kontraksi masing-masing sebesar -13% dan -20%.

Sementara itu, konsumsi rumah tangga yang menjadi penyumbang terbesar PDB kemungkinan besar juga masih sukar tumbuh lebih dari 5,1%.

Namun, ada satu risiko yang berpotensi mengganggu stabilitas daya beli masyarakat di tahun 2019 ialah, adanya kemungkinan kenaikan harga BBM, termasuk BBM bersubsidi.

Hal ini dikarenakan, minimnya peningkatan alokasi anggaran subsidi energi pada APBN 2019 di tengah potensi peningkatan harga minyak dunia. Apabila harga BBM bersubsidi mengalami peningkatan, maka akan ada kemungkinan peningkatan harga BBM non-subsidi akan lebih besar lagi di tahun 2019.

Di sisi lain, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sampai dengan akhir tahun 2018 diperkirakan berada di level 6%. Yang mana BI sebagai otoritas moneter selama tahun 2018 telah melakukan pengetatan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga acuannya sebesar 175 basis poin (bps) untuk mengantisipasi dinamika global dan menahan laju pelemahan rupiah.

Direktur Riset Core Indonesia Pieter Abdullah Redjalam mengatakan, "Kalau global arahnya masih melakukan pengetatan, saya proyeksikan BI akan menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali di tahun 2019. karena The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuannya, walaupun kemungkinan tidak sebanyak di tahun 2018," ujarnya.

Sementara itu, dari sisi nilai tukar Rupiah, Pieter memproyeksikan, sepanjang tahun 2019 nilai tukar Rupiah akan berada di kisaran Rp 15.100 hingga Rp 15.200 per dolar AS. 

"Tekanan pelemahan terbesar terhadap Rupiah akan terjadi pada semester pertama. Kemungkinan Rupiah akan kembali mendapatkan momentum penguatan pada semester dua, setelah usainya proses pemilu," tambah Pieter.

Meskipun tantangan ekonomi yang dihadapi di tahun 2019 lebih besar timbang tahun sebelumnya. Core meyakini bahwa untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan global, pemerintah perlu melihat permasalahan-permasalahan perekonomian dari akarnya serta lebih inovatif dalam mencari solusi.

Paling tidak, pemerintah perlu menjaga agar kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan jangan sampai berdampak terhadap penurunan daya beli dan tingkat konsumsi masyarakat yang menjadi penopang utama ekonomi nasional.

Dengan cara mempertahankan BBM bersubsidi di dalam negeri menjadi suatu hal penting untuk mencegah terkereknya inflasi dan melemahnya daya beli, khususnya bagi masyarakat golongan menengah bawah.

Selain itu, upaya stabilisasi nilai tukar Rupiah oleh BI perlu dilakukan lebih cermat untuk menjaga optimisme konsumen dan pelaku usaha di dalam negeri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×