kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.755   -3,00   -0,02%
  • IDX 7.480   -25,75   -0,34%
  • KOMPAS100 1.154   -2,95   -0,26%
  • LQ45 913   0,81   0,09%
  • ISSI 227   -1,59   -0,70%
  • IDX30 471   1,26   0,27%
  • IDXHIDIV20 567   3,73   0,66%
  • IDX80 132   -0,15   -0,11%
  • IDXV30 139   -0,18   -0,13%
  • IDXQ30 157   0,79   0,50%

CITA sarankan pemerintah perkuat realokasi tax expenditure sokong sektor manufaktur


Rabu, 19 Juni 2019 / 17:37 WIB
CITA sarankan pemerintah perkuat realokasi tax expenditure sokong sektor manufaktur


Reporter: Benedicta Prima | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan industri manufaktur saat ini menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi Indonesia agar dapat tumbuh 5%-5,5% tahun depan. Meskipun demikian, pemerintah  mengakui tidak mudah mendorong pertumbuhan industri manufaktur. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat bersama komisi XI DPR, Senin (19/6) mengatakan, untuk menyokong pertumbuhan industri manufaktur maka pemerintah memasukkan sektor ini ke dalam kebijakan fiskal sehingga dapat mendorong inovasi dan produktivitas industri manufaktur.

Salah satu yang menjadi kebijakan fiskal adalah memberi fasilitas perpajakan dengan memberi insentif. Menkeu mengatakan estimasi belanja pajak untuk insentif tahun depan sekitar Rp 155 triliun.

Dalam rapat tersebut Mantan Bank Direktur Pelaksana Bank Dunia ini juga memberi sinyal akan realokasi sektor mana yang akan menerima fasilitas pajak cukup besar agar dampaknya terhadap perekonomian juga optimal.

"Memang sudah dibicarakan dengan presiden realokasi untuk fasilitas perpajakan ini supaya dampaknya paling besar," ujar dia.

Data pada tahun 2016 dan 2017 menunjukkan sektor yang mendapatkan alokasi belanja perpajakan paling besar adalah jasa keuangan, serta pertanian dan perikanan.

Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, sektor jasa keuangan terlihat besar karena dalam penghitungannya dimasukkan sebagai objek yang dikecualikan dari Pajak Penjualan (PPN).

"Porsinya jadi besar, manufaktur menjadi terlihat lebih kecil karena skemanya tax holiday atau tax allowance," jelas Yustinus saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (19/6).

Sebenarnya penghitungan jasa keuangan bukan objek PPN berdasarkan praktik internasional yang semua negara sepakat memberlakukan aturan tersebut. Sehingga, jelas Yustinus, hal tersebut bukan merupakan insentif.

"Tax expenditure yang sifatnya pengecualian karena common practice internasional tak perlu dimasukkan dalam komponen insentif, tetapi tetap dianggap tax expenditure," ujar Yustinus.

Selain permasalahan skema penghitung tersebut, Yustinus menyampaikan persetujuannya bahwa realokasi tax expenditur harus sesuai dengan orientasi bisnis dan ekonomi pemerintah yaitu sektor industri yang alokasinya paling besar. "Yang perlu diperkuat realokasi ke sektor produktif ke sektor manufaktur lalu mungkin industri hulu," imbuhnya.

Yustinus juga menyarankan pemerintah perlu secara bertahap membuat skema insentif yang lebih tepat guna. Dia mencontohkan industri tekstil yang selama ini banyak menyerap tenaga kerja tapi merupakan industri yang paling sulit mendapatkan insentif sehingga tidak kompetitif.

Selain itu, Yustinus juga menyarankan pemerintah untuk mulai menghitung efektivitas tax expenditure terhadap perekonomian.

"kita belum sampai ke situ, dihitung harusnya kan efektifitas insentif kalau sudah beri insentif Rp 1 triliun ke A berapa multiplier effect-nya berapa besar dampak ke perekonomian. Nah nanti perlahan harus ke situ," jelas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×