Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Awal tahun 2017, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) resmi melarang penggunaan alat tangkap jenis cantrang. Alasannya, cantrang dapat merusak terumbu karang dan menghabiskan ikan kecil sehingga tidak terjadi keberlangsungan rantai hidup dalam laut.
Pelarangan ini telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 tahun 2015. Untuk masa adaptasi, KKP telah memberikan waktu selama setahun kepada para nelayan untuk melakukan penggantian alat tangkap.
Dan untuk akhir tahun ini, KKP juga akan menyalurkan sekitar 4.000 unit alat tangkap pengganti cantrang seperti jaring, pancing, dan lainnya.
Zulfichar Mochtar Plt Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP menjelaskan berdasarkan penelitian cantrang sudah tidak memiliki keberlanjutan baik dari sisi ekonomi, sumber daya, dan sosial. Bahkan tiap tahun, jumlah tangkapan nelayan semakin menurun karena wilayah tangkapan makin sempit dan populasi ikan semakin sedikit.
"Secara sosial memicu banyak konflik, lokasi penangkapan juga semakin sempit sehingga persaingan lebih ketat, sehingga sudah cukup alasan bila ini (cantrang) dilarang," katanya, Kamis (8/12).
Sekadar informasi, alat tangkap ini hanya dapat digunakan untuk wilayah perairan di bawah 12 mil. Kebanyakan, alat ini digunakan oleh nelayan di wilayah Pantai Utara Pulau Jawa (Pantura).
Agar seluruh nelayan dapat mengganti alat tangkapnya, sejak dua bulan lalu KKP getol berkomunikasi dengan perbankan untuk meminta kemudahan akses kredit serta restrukturisasi utang sampai dua tahun.
KKP memberikan jaminan, tidak akan ada kredit macet lagi karena potensi ikan di laut melimpah. Maklum saja, sektor ini selalu di identikkan dengan gagal bayar.
Kajidin, Ketua Serikat Nelayan Tradisional mengaku sulitnya peralihan ini karena terbatasya modal untuk pembelian alat baru. Maklum saja, dibutuhkan modal minimal Rp 200 juta untuk pembelian alat tangkap ramah lingkungan seperti jaring.
Setelah melakukan uji coba beberapa saat lalu, dia mengaku jaring, pancing, dan alat lainnya dapat menghasilkan ikan lebih banyak dibandingkan dengan cantrang. Sehingga, dia mengaku siap beralih asalkan ada bantuan nyata dari Pemerintah.
"Kami harap ada akses kredit perbankkan yang bisa membantu karena sampai saat ini alat bantuan pengganti cantrang dari Kementerian belum ada," katanya pada KONTAN, Senin (12/12).
Bambang Wijayanto Koordinator Front Nelayan Bersatu (FNB) menilai pemerintah terlalu terburu-buru dalam melakukan penggantian alat tangkap. Dia mengaku membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk proses adaptasi dan penggantian tersebut.
Lagi pula, menurutnya cantrang masih termasuk alat tangkap yang ramah lingkungan bila digunakan di wilayah yang tepat.
Sejak berlakunya Permen Nomor 2 Tahun 2015 tentang aturan penggunaan alat tangkap, praktis dibeberapa wilayah telah melarang penggunaan cantrang sehingga, para nelayan tidak dapat melaut. Akibatnya, pembayaran kredit ke bank terganggu dan banyak yang terkena pinalti bank.
"Sampai saat ini belum ada satu pun bank yang ditunjuk KKP untuk mengadakan pembicaraan dengan kami soal restrukturisasi utang atau pinjaman baru," katanya.
Menurut Bambang, sampai saat ini masih banyak nelayan yang menggunakan cantrang dan hasil tangkapannya masih banyak karena makin besarnya permintaan dari industri surimi yang menggeliat.
Sebelumnya, Budhi Wibowo Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) menilai bila cantrang tidak diperbolehkan maka industri surimi akan gulung tikar karena tidak bisa mendapatkan bahan baku. Karena, ikan kecil hanya dapat ditangkap menggunakan cantrang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News